Rabu, 06 April 2016

Yang tak tahu adalah yang tahu dan yang tahu adalah yang tak tahu

Di beranda rumah guruku aku dan beberapa anggota jema'ah sholawat duduk mendengarkan guru bercerita. Kejadian itu selepas pembacaan sholawat dan menyantap beberapa potong penganan lemang serta kue-kue lainnya ditemani secangkir kopi atau teh. Suasananya malam, hening, tentram karena baru saja selesai membacakan sholawat untuk nabi...
Di tengah-tengah perkataannya, guruku melontarkan sebuah kata-kata hikmah; "orang yang tahu adalah dia yang tak tahu, sedangkan orang yang tak tahu adalah dia yang tahu.."
Lama aku dan beberapa jama'ah memahami makna hikmah ini, bahkan sampai saat aku menuliskan catatan ini masih saja aku merenungi maknanya. Ah..sungguh dalam teka-teki makna hikmah ini.
Seiring berjalannya waktu, dan kehidupan yang dilalui, akhirnya aku banyak menemui sosok manusia yang seperti digambarkan guruku. Bahwa orang-orang yang bersahaja, tidak terlalu banyak mengekspos opini-opininya ternyata lebih memberikan manfaat bagi orang-orang sekitarnya. Misalnya sosok paman yang sekaligus guruku ini, sepanjang yang kuketahui, dia bahkan tidak ingin dituliskan biografinya sebagai salah satu tokoh di kota kami tinggal. Biasanya, dalam kehidupan yang 'modern' ini, profil orang seperti beliau akau sangat laku ketika dituliskan dalam bentuk buku. Jarang sekali beliau mengomentari tentang istilah demokrasi, kepemimpinan, thinking out of box, dll istilah modern yang sangat dikagumi orang2 generasiku. Namun pada kenyataannya, dalam beliau bertutur, dalam beliau menanggapi pengaduan kami sungguh sangat solutif dan jauh dari menghakimi. Beliau terang-terangan menolak untuk diangkat menjadi Ulama di kota kami dan apalagi menjadi penasihat di partai politik serta di lembaga kepresidenan sekalipun! Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk kemaslahatan murid-muridnya.
Atau misalnya mengambil contoh Rasulullah SAW, dalam banyak tulisan sejarah Islam, nabi Muhammad dikenal sebagai seseorang yang 'Ummi' artinya tidak bisa baca tulis! akan tetapi kebutaaksaraan nabi (baca ketidaktahuannya) membuktikan hal sebaliknya! Bahwa beliaulah perantara tersampaikannya kalam Allah, penyempurna ilmu pengetahuan yang ada di dunia, pemimpin yang dipuja sepanjang masa! Belum ada satu pun pemimpin dunia yang bisa teguh pada prinsip hidup sederhananya di tengah-tengah jaya dan makmurnya (secara keuangan dan materiil) kekuasaan Islam masa itu. Rasulullah SAW bukan seorang PhD dari Univ ternama pada masa itu (konon pada masa itu sudah berdiri maktab-maktab sastra dan filsafat ternama yang ada di jazirah Mesir dan Mesopotamia), namun perkataan-perkataan nabi yang kemudian dibukukan sebagai hadist memiliki nilai sastra yang jauh lebih dahsyat dari misalnya semboyan 7 wondersnya Dale Carnegie, atau tulisan-tulisan Socrates tentang Plato di buku-bukunya!
Yang paling dekat dan sedang membooming adalh masa menjelang PILPRES di Indonesia sekarang. Banyak sekali orang-orang yang kelihatannya sangat cerdas dalam beropini, akhirnya ketahuan juga motifnya untuk kekuasaan. Angka Golput di Pemilu Legislatif adalah gambaran banyaknya orang yang tidak (belum) percaya pada sistem politik di negara ini. Orang-orang yang katanya tahu arti demokrasi ternyata tidak tahu bagaimana mengejewantahkan demokrasi itu dalam pembuatan platform partai, pengangkatan isu kampanye, koalisi, dan lain-lain dan lain-lain..
Ah..sebaiknya saya berhenti, sebelum saya pun menjadi orang yang (merasa) tahu padahal tidak tahu..
A'udzubillah min dzalik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar