Rabu, 06 April 2016

Namaku dan segregasi antara patron kehidupan beragama dengan sekularisme

Terinspirasi dari beberapa kejadian yang aku alami dengan namaku membuatku ingin menuliskan bagaimana hal ini menjadi norma sosial yang diterima luas oleh masyarakat kita sekarang di Indonesia tercinta. Satu fenomena yang secara tak sadar aku pun termasuk di dalamnya. Celetukan semisal; waduh..jangan cerita bisnis la..ada ustadz di sini, tak enak kita. Atau, sama tengku itu la... Awak tak ustadz, segan awak dia sholat awak tidak... Atau misalnya ketika aku berkenalan dengan orang Indonesia yang familiar dengan istilah Santri dan Pesantren selalu bilang; "Oh..namanya Santri. Koq bisa kerja di NGO?" Atau misalnya, waduh jangan bawa si Santri la..Ustadz masak diajak nongkrong..Bla bla bla...

Alhamdulilah aku terlahir dengan nama Pria Santri Beringin, sebuah pemberian nama yang unik yang sangat cerdas dari almarhum papa. Secara historis, nama itu terinspirasi dari peletakan batu pertama pembangunan pesantren yang dikelola pamanku dan papa. Kebetulan aku lahir satu hari setelah peletakan batu pertamanya. Nama Pria karena aku anak laki laki papa, dan Beringin adalah gelar kehormatan yang diberikan masyarakat Sei Beringin di Pematang Siantar untuk kakekku yang mengembangkan agama Islam di sana. Nah, untuk memohon keberkahan kakek turun ke aku, maka aku pun diwarisi gelar Beringin tadi.

Inti diskusi yang ingin kuangkat di sini adalah bagaimana hebatnya segregasi nilai-nilai serta patron kehidupan beragama dari kehidupan 'sekuler'. Bagaimana hebatnya dakwah anti Islam hidup di setiap nafas kita sehingga kita menjadi pelakunya secara tak sadar maupun sadar. Bagaimana bisa Islam yang mengatur kehidupan manusia secara kaffah disimbolkan sebatas ceramah agama, sholat, puasa, zakat dan ibadah ibadah mahdhoh lainnya.

Terus terang, saya pun tak mengaplikasikan setiap nilai nilai Islam di kehidupan saya. Namun mendengar bagaimana generasi saya mengeluk elukkan guyonan seputar segregasi Islam dan kehidupan 'sekuler' benar benar membuat saya geram. Seolah olah Islam hanya mengatur hal hal yang berkaitan dengan puasa, sholat, zakat, dan lain lain yang secara materil terlihat. Apa iya Islam itu yang hanya melulu melantunkan sholawat dalam pakaian putih dengan sorban rapih serta harum? Apakah dakwah Islam hanya menjadi tanggung jawab ustadz ustadz dan da'i yang gaya pidatonya harus mirip Zainuddin MZ? Apakah pidato agama melulu membahas isu isu seputar ibadah mahdhod dan ketika bicara internet bukan masuk ranah agama dan/atau Islam? I feel so embarrassed by that!

Sebagaimana yang dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia, agama berasal dari dua kata 'a' dan 'gama'. Artinya 'a' tidak, 'gama' = goyah, jadi 'a'+'gama' = tidak goyah. artinya agama adalah hal yang mengatur tentang menetapkan keyakinan dan itu dipakai di setiap sendi kehidupan kita. Jadi tidak ada lagi yang namanya ketaatan beragama dilihat dari disiplinnya sholat seseorang semata, tapi lebih dari itu bagaimana Islam memang dipakai di setiap hal yang mengatur kehidupan kita; termasuk misalnya memelihara binatang ternak, menawarkan jasa, mendiskusikan sesuatu, berpakaian, dan lain lain yang semuanya kita lakukan setiap saat. Dengan demikian tidak ada lagi ruang di mana kehidupan kita bisa terlepas dari agama! Sekali lagi, agama adalah tentang keyakinan yang diaplikasikan di setiap sendi kehidupan manusia, tidak bisa disegregasi, tidak perlu disegregasi, tidak perlu diatur terpisah! Tidak ada lagi pemikiran bahwa kalau kita sudah sholat bahwa kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar, belum tentu! Pembahasan tentang kewajiban sholat dan lain lain sudah jelas nashnya (undebatable), yang menjadi isu adalah bagaimana asosiasi kita tentang beragama!

Islam hanya sebuah nama, lebih dari itu Islam sendiri adalah kita (alam) dan kehidupan kita yang diajarkan oleh Baginda Muhammad Sallalahu 'Alaihi Wasallam lewat wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril. Ini tentang mengabdi, ini tentang patuh...

Think out of box. Think Islam out of our self preferences. There is no such Islam in one box! One minute you consider you as moslem, the other time you think that you are just human being! There is no such opportunity I would say. It is holistic, it is kaffah. And of course, it is between you and your God and other human being..

Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar