Rabu, 06 April 2016

Lembayung di perbatasan

Di tengah kebencian saya yang luar biasa tinggi terhadap kepolisian republik ini karena kasus sendal jepit Aal di Palu, penyerbuan Mesuji,  kriminalisasi bocah 12 tahun bernama Fahmi di Medan, pembunuhan bersaudara di penjara Pessel Sumbar, momentum tahun baru lalu setidaknya mengembalikan akal sehat saya untuk memilah-milah persoalan dan perasaan. Bahwa kurang bijak membenci polisi dan institusinya, toh masih ada segelintir kecil dari personnel kepolisian yang menyejukkan hati jasanya.

Waktu itu saya dan keluarga sengaja berkunjung ke Merauke untuk merasakan pembukaan tahun 2012 dari ujung paling timur Indonesia. Sekadar melihat-lihat, mumpung sedang di Papua.

Perjalanan Jayapura-Merauke paling efisien ditempuh dengan pesawat terbang, kurang lebih 1 jam dari Bandar Udara Sentani, Jayapura. Setibanya di Merauke, dengan menumpang taksi rental dari Bandara kami menginap di salah satu hotel Melati di merauke. Bincang-bincang dengan beberapa referensi di Jayapura dan rekomendasi sang supir taksi rental, cuma ada satu tujuan wisata paling populer di Merauke ini; Distrik Sota! yang menjadi perbatasan antara Republik Indonesia dengan Papua New Guinea.

Tanggal 31 Desember 2011 tersebut, kami akhirnya berkunjung ke Sota. Sebuah kecamatan yang jaraknya kurang lebih 80 km sebelah timur kota Merauke, Sota dapat ditempuh dengan mobil selama kurang lebih 1 sampai dengan 2 jam (tergantung cuaca dan gaya mengemudi). Sepanjang perjalanan menuju Sota, kita disuguhi oleh hutan mangrove yang cantik sekali, yang konon katanya dulu menjadi tempat lalu lalangnya Rusa yang menjadi icon kabupaten Merauke.

Cerita tentang indahnya Taman Nasional Wasur dengan rumah semut (musamus) setinggi 8 meter serta rusa dan kanggurunya bagi saya kalah menyentuh dengan cerita tentang Aiptu Ma'ruf. Seorang perwira polisi dengan jabatan wakapolsek di distrik Sota yang membuka hati dan akal sehat saya tentang seorang personnel polisi.

Dulu saya sempat baca-baca artikel tentang Nasionalisme Ma'ruf yang diterbitkan kompas atau diberitakan kaskus. Waktu itu bathin saya berkata, "ah, kadang-kadang wartawan lebay aja memberitakan sesuatu.." Fikiran itu sama sekali pupus! Melihat Aiptu Ma'ruf yang jauh dari citra polisi yang tukang minta duit, semena-mena dan arogan. Aiptu Ma'ruf mengarahkan mobil kami yang parkir di halaman taman perbatasan Sota! Dengan senyum dan tanpa kesan dibuat-buat!

Turun dari mobil saya masih sedikit sinis dengan laki-laki berseragam itu. "Mesti ada maunya," bathin saya mencurigai.
Apalagi di mana-mana saya melihat papan tulisan "Taman ini dirawat oleh Aiptu Ma'ruf" Ha! jelas sudah, manusia haus publikasi! pikir saya masih sinis.

Beberapa menit setelah saya ambil beberapa foto tentang taman tersebut Aiptu Ma'ruf mulai terlihat mengambil sapu dan memungut sampah sisa pengunjung sebelum kami tiba. Iba saya mulai muncul. "Bantu-bantu pungut sampah apa salahnya." fikir saya.

"Dari mana pak..?" tanya Aiptu Ma'ruf. "Dari Jayapura pak.." jawab saya mencoba sopan. Tanpa banyak basa-basi saya langsung bertanya-tanya kenapa beliau ada di sini. Pak Ma'ruf menjawab "karena saya senang ada di sini".
Akal sehat saya berusaha mencerna apa maksud kata 'senang' tersebut. Apa enaknya tinggal di tempat yang jauh dari mana-mana, bahkan listrik pun belum ada, sementara beliau belakangan saya tau sudah beberapa kali dipromosikan untuk pindah tugas ke tempat lain!

"Anak istri Bapak di sini juga?" tanya saya lagi. "Siap! Sejak kami menikah. Tapi anak saya yang nomer satu di Merauke, karena tidak ada SMA din sini."

"O..." bathinku melongo. "Koq bisa pak? Kenapa?" tanyaku kayak setengah tak percaya.

"Hidup ini kalau dinikmati indah sekali pak..!" demikian celetuk pak Ma'ruf. "Saya di sini dari tahun 1993. Waktu itu saya yang biasa berkebun di 'kampung' saya di Nabire koq ngerasa gak enak cuma duduk-duduk aja di kantor" lanjut pak Ma'ruf berkisah. "Lalu saya main-main ke tugu ini. Waktu itu ilalangnya dua kali tinggi kita berdiri, belum ada taman bunga. Apalagi saung-saung ini" tutur pak Ma'ruf.

"Jadi Bapak yang membersihkan dan membuat taman ini?" tanya saya terheran. "Siap!" jawab perwira polisi tersebut.

Percakapan kami pun menjadi lebih akrab. Sekat kebencian saya akan seorang personnel polisi perlahan-lahan pupus. Ma'ruf bagai positive defiance di kumpulan keprihatinan kesehatan kinerja kepolisian (mencontek istilah pendekatan kesehatan).

Usut punya usut, ternyata tulisan-tulisan yang terpampang di mana-mana itu adalah pemberian dari Presiden RI. Sebagai penghargaan untuk kerja keras beliau. Bayangan tugu Sota yang berisi semak belukar dan jauh dari kesan indah itu menjadi sulit dibayangkan ketika kami berkunjung ke sana!

"Tiap pagi, habis apel di kantor saya mohon izin ke sini. Saya membabat rumput, menyiram tanaman, atau sekadar memungut sampah yang berserakan" lanjut beliau menambah kekaguman saya.

"Sesekali anak istri saya ikut membantu." sambungnya lagi

"Tidak ada operasional dari kantor pak?" sidik saya sedikit penasaran.

"Ah, tidak perlu pak. karena tugas penjagaan wilayah perbatasan sebenarnya diserahkan kepada TNI. Tapi cor lantai ini dari anggara APBN." jabaw pak Ma'ruf.

"saung-saung ini, bunga-bunga, tempat sampah dan musholla ini? Bapak yang buat?"

"Siap!" jawab perwira itu lagi.

Sakin cintanya pak Ma'ruf dengan perbatasan Sota ini, beliau bahkan sudah menciptakan beberapa lagu. Yang terbaru malah sempat saya rekam di perangkat telpon seluler saya.

Tugu.. perbatasan Sota...
yang terkenal di .. mana-mana...
Siapa yang datang ke sana
pasti akan terpesona ...

Suku kanunnya menjaga adatnya..
taman wasurnya.. perlu kita yang jaga...
negara tetangga jalin hubungannya...

mari bersama... kita berkarya...
demi kemajuan bangsaaaa...

mari bersama... kita menjaga...
demi... keutuhan bangsaaa...

Demikian petikan lagu ciptaan pak Ma'ruf.
Kental semangat nasionalisme tanpa mengabaikan hak-hak suku asli! Suku kanun yang menjadi penghuni asli taman nasional Wasur sengaja disebutkan beliau katanya agar orang-orang juga tau bahwa mereka adalah penjaga utama pintu perbatasan ini dan pembeir citra Indonesia dengan negara tetangga.

Ah.. Pak Ma'ruf..! Saya jadi malu, bathin saya.. Di sepanjang perjalanan pulang, saya sempat melihat kebun-kebu nenas yang beliau tanam dengan suku Kanun tersebut! Jadi tambah malu saya.. Ke sana sini membawa image pemberi perubahan untuk masyarakat, belum satu kebun masyarakat pun yang sempat saya tanam dengan mereka...

Kharisma pak Ma'ruf seperti lembayung... Samar di ufuk senja.. namun begitu indah...!

"Salut Pak Ma'ruf! Semoga Allah yang Maha Kaya senantiasa mencukupkan Bapak dan keluarga serta melimpahkan kehidupan yang hebat untuk keturunan-keturunan Bapak... Amin..."
hutan mangrove Taman Nasional Wasur, Meraukehutan mangrove Taman Nasional Wasur, Merauke
saya, istri dan Aiptu Ma'rufsaya, istri dan Aiptu Ma'ruf
di tugu perbatasan RI-PNG di Sotadi tugu perbatasan RI-PNG di Sota
kebun nenas pak Ma'rufkebun nenas pak Ma'ruf
musamus 6 meter di Wasur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar