30 September 2009 sekitar jam 5 sore, sebuah gempa tektonik mengguncang
wilayah barat pulau Sumatera. Kekuatannya sekitar 7,6 skala richter,
sekitar 45 km dari garis pantai pesisir pariaman. Kroban meninggal
terhitung ratusan orang, ribuan luka luka dan ratusan ribu bangunan
rumah, sekolah dan rumah sakit serta fasilitas umum lainnya rusak berat.
Sampai dengan tanggal 30 October 2009, sekitar 8 titik pengungsian
permanent telah teridentifikasi di kabupaten Pariaman dan Agam. Lebih
kurang 6,500 jiwa mengungsi karena kampungnya sama sekali hilang ditelan
lumpur longsor.
Tanggal 3 Oktober (tepat 3 hari setelah kejadian)
saya mendapatkan telfon untuk membantu tim di lokasi bencana, mencari
tau kebutuhan pendidikan untuk anak anak korban gempa. Tanggal 4 Oktober
saya mulai berangkat ke lokasi dan bersama satu orang teman kantor
berangkat dengan pesawat yang sama dari Medan ke Padang.
Perasaan
yang ada saat itu adalah sangat senang sekali, karena selain sumatera
barat adalah kampung halaman, keinginan kuat untuk turut belajar tentang
pendidikan tanggap darurat ada di benak saya.
Sekitar pukul 7 malam
kami tiba di kantor sementara organisasi tempat saya bekerja. Ada
beberapa wajah lama dan banyak wajah baru. Semuanya kelihatan letih,
banyak yang baru selesai distribusi bantuan dan banyak yang baru selesai
seliweran rapat rapat koordinasi dan penggalangan dana. Sempat
terlintas rasa tak enak, saya tiba di kantor langsung istirahat ngopi,
sementara korban masih banyak yang belum tertangani. Akan tetapi protap
tanggap darurat ada diberlakukan, saya pun akhirnya menghabiskan kopi
segelas sambil menunggu instruksi dari team leader.
Team leader kami
berasal dari Australia; spesialis tanggap bencana yang sudah melanglang
buana ke banyak lokasi bencana alam dan peperangan. Sangat apresiatif
sebagai atasan dan sangat bersimpati sebagai pekerja kemanusiaan. Saya
suka caranya menghargai orang.
Sebulan berlalu sejak gempa terjadi, banyak hal yang kami sudah coba lakukan. Demikianpun, saya mulai menggerutu...
Menggerutu
karena banyak pekerja yang datang dari luar (ex patriate) yang tidak
memiliki pengalaman tanggap bencana datang dan mencoba mengatur teman
teman di lapangan tanpa tujuan yang jelas. Saya sedih karena orang orang
saya (Indonesia) yang sudah sekian daerah bencana dibantunya
mendapatkan petunjuk dan arahan yang tidak jelas arah dan kebutuhannya.
Semakin jelas belakangan, arah dan tujuannya adalah mencari dana!
Saya
sedih, saya marah, tapi saya tak berdaya karena dilema.. Satu sisi kita
memang butuh dana untuk membantu korban secara sistematis dan
struktural, satu sisi karena saya pun berada di lingkaran pencari dana
itu.. Saya hanya bisa menggerutu.. saya ingin membantu. Saya ingin
tangan Tuhan menolong saya dan memberikan kekuatan untuk mempertahankan
idealisme kita orang Indonesia untuk mapan dan mandiri bahkan di situasi
paska gempa bumi..!
Kadang saya berfikir, ada baiknya bergabung di
tempat yang tidak profesional saja! Lebih lepas dan tidak banyak
kepentingan...'Entahlah.. Namanya orang menggerutu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar