Rabu, 06 April 2016

Mempertanyakan ke"Indonesiaanku"

Momentum pemilihan presiden kali ini benar benar menguras tenaga dan emosi. Saya dan banyak orang Indonesia lainnya hanyut di hiruk pikuk demokrasi bagaikan dua kubu yang berseteru dalam pertarungan benar dan salah. Saya dengan segala yang saya percaya mengusahakan semua yang saya punya untuk berbagi lewat media sosial sebagai pembuktian keIndonesiaan saya. Saya merasa wajib memberikan klarifikasi pada semua hal yang saya anggap sebagai pembelokan informasi yang benar tanpa merasa sedikitpun khawatir menjadi “musuh” teman yang selama ini ada di masa jauh sebelum pilpres. Meskipun saya tidak merasa sama sekali menyesal menjadi bagian dari perseteruan yang saya dasarkan pada fakta yang saya kumpulkan rimah demi rimah, tapi sungguh saya juga khawatir menjadi bagian yang mewarnai lebih dalam koyaknya tenun kebangsaan ibu pertiwi ini.

Perlahan lahan saya scroll down ke laman teman-teman yang ada di facebook. Saya menemukan ScottyHeidy Wisely mengunggah foto-foto tentang berfungsinya mesin pembangkit listrik tenaga airnya yang dia upayakan dengan donasi teman dan keluarga untuk menerangi sekolah Op Anggen di Bokondini di Papua. Dia dalam revolusi sunyinya konsisten selama lebih dari 15 tahun belakangan menetap dengan keluarganya di daerah tanpa fasilitas listrik dan jalan, untuk bantu orang Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Guru-guru yang dia rekrut bukan tamatan sekolah-sekolah tinggi yang mahal dengan gaji setara pegawai negeri sipil, namun dedikasinya menjadikan sekolah tersebut bagaikan pelita dalam gelap dan harapan akan manusia yang lebih bermanfaat untuk sekitar.

Lain lagi cerita Martijn van Driel. Seorang berkewarganegaraan Belanda yang hidup di Wamena dengan istri dan kedua putrinya menghabiskan 6 tahun terakhir jauh dari kehidupan majunya di Belanda, demi membantu guru-guru di Papua yang seringkali hanya dianggap sebagai angka pemenuhan indikator pendidikan. Martijn malah harus merelakan kedua putrinya belajar secara mandiri dari rumah lewat media home schooling karena ketiadaan buku-buku pelajaran yang sama dengan kurikulum Belanda. Saya Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk bersama beliau membantu melatih sekian banyak guru di Papua untuk memiliki acuan mengajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tempatan.
Nama Naomi Sosa juga salah satu yang menginspirasi saya ketika bekerja di Papua. Perempuan berkebangsaan Irlandia ini tinggal bersama keluarganya di Wamena guna membantu masyarakat lokal mampu berorganisasi dengan benar dan menyampaikan layanan pembangunan ke kantong-kantong tersulit yang sering kali hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang berpenumpang 3 – 4 orang. Pernah suatu ketika, ibu saya menangis mengetahui bahwa pesawat saya tidak kembali ke kota setelah terjebak di Holuwon (sebuah desa di kabupaten Yahukimo) dan tidak ada komunikasi ke luar kampung. Saya ketika itu bertugas membantu memastikan bahwa kurikulum lokal yang kami kembangkan bersama sama dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak terbayang sudah berapa puluh penerbangan yang Naomi lakukan untuk perjalanan seperti itu. Dan sudah berapa kali ibu dan keluarganya barangkali harus khawatir ketika dia dengan teman-teman Papua menyalurkan layanan kemanusiaan ke daerah-daerah sulit tersebut bertaruh nyawa dan harta.

Waktu saya jalan-jalan ke Merauke dengan keluarga saya, saya menyempatkan ke perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea. Sebuah perbatasan hanya berbatas tugu. Tugu itu kemudian dikembangkan menjadi taman dan kebun nenas lewat tangan dingin dan gaji pribadi Pak Aiptu Makruf yang bertugas sebagai perwira polisi di kecamatan Sota. Bakti tulus pak Aiptu Makruf ini kemudian mendatangkan simpati negara dan dunia yang jauh dari hingar bingar jabatan. Pak Aiptu Makruf bahkan menolak untuk dimutasi ke kota Merauke ataupun daerah lainnya, padahal kecamatan Sota tidak punya Sekolah Menegah Atas untuk anak sulungnya yang kemudian terpaksa bersekolah di kota Merauke.

Di tingkat nasional, nama nama besar seperti Tri Mumpuni dan Ibekanya, Anies Baswedan dan Indonesia Mengajar, Sandiaga Uno dan Indonesia Setara, atau Romo Mangunwijaya dan masyarakat kali code, adalah nama nama pahlawan “kekinian” yang anak muda masa saya harus kenal dan tiru lebih jauh. Mereka hadir dari “arus bawah” dengan karya dan lintas kepentingan.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri, apa pula karya yang bisa saya sembahkan untuk ibu pertiwi? Kenapa pula saya harus lanjutkan rasa memusuhi pada kelompok yang saya anggap tergerus arus politik bebas etika? Jawaban saya satu, untuk terus mewarnai kembangnya politik di Indonesia yang bermartabat. Jauh dari intrik dan konflik kepentingan dan atas dasar keinginan membangun Indonesia yang lebih sejahtera, lahir dan bathin. Agar kelak anak dan ponakan saya bisa hidup lebih baik dari yang saya punya. Hidup berdampingan dengan segala suku bangsa dan agama, tanpa rasa lebih tinggi satu sama lainnya. Hidup yang dipenuhi dengan pertarungan kerja keras dan kesadaran akan pentingnya menjadi mandiri, namun santun dalam laku dan pribadi. Mengamalkan ajaran agama yang hakiki dan meneduhkan sesamanya. Amin…

NB: Tulisan ini sekaligus saya sajikan sebagai permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada kawan-kawan yang kali ini berseberangan pilihan presiden. Semoga teman-teman maafkan saya lahir bathin. Kritik yang saya ajukan sejatinya adalah untuk pihak-pihak yang mengadu domba kita demi kuasa dan kepentingan politiknya, bukan ke pribadi-pribadi kawan-kawan sesama kelompok non partai. Semoga berterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar