Rabu, 06 April 2016

Mempertanyakan ke"Indonesiaanku"

Momentum pemilihan presiden kali ini benar benar menguras tenaga dan emosi. Saya dan banyak orang Indonesia lainnya hanyut di hiruk pikuk demokrasi bagaikan dua kubu yang berseteru dalam pertarungan benar dan salah. Saya dengan segala yang saya percaya mengusahakan semua yang saya punya untuk berbagi lewat media sosial sebagai pembuktian keIndonesiaan saya. Saya merasa wajib memberikan klarifikasi pada semua hal yang saya anggap sebagai pembelokan informasi yang benar tanpa merasa sedikitpun khawatir menjadi “musuh” teman yang selama ini ada di masa jauh sebelum pilpres. Meskipun saya tidak merasa sama sekali menyesal menjadi bagian dari perseteruan yang saya dasarkan pada fakta yang saya kumpulkan rimah demi rimah, tapi sungguh saya juga khawatir menjadi bagian yang mewarnai lebih dalam koyaknya tenun kebangsaan ibu pertiwi ini.

Perlahan lahan saya scroll down ke laman teman-teman yang ada di facebook. Saya menemukan ScottyHeidy Wisely mengunggah foto-foto tentang berfungsinya mesin pembangkit listrik tenaga airnya yang dia upayakan dengan donasi teman dan keluarga untuk menerangi sekolah Op Anggen di Bokondini di Papua. Dia dalam revolusi sunyinya konsisten selama lebih dari 15 tahun belakangan menetap dengan keluarganya di daerah tanpa fasilitas listrik dan jalan, untuk bantu orang Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Guru-guru yang dia rekrut bukan tamatan sekolah-sekolah tinggi yang mahal dengan gaji setara pegawai negeri sipil, namun dedikasinya menjadikan sekolah tersebut bagaikan pelita dalam gelap dan harapan akan manusia yang lebih bermanfaat untuk sekitar.

Lain lagi cerita Martijn van Driel. Seorang berkewarganegaraan Belanda yang hidup di Wamena dengan istri dan kedua putrinya menghabiskan 6 tahun terakhir jauh dari kehidupan majunya di Belanda, demi membantu guru-guru di Papua yang seringkali hanya dianggap sebagai angka pemenuhan indikator pendidikan. Martijn malah harus merelakan kedua putrinya belajar secara mandiri dari rumah lewat media home schooling karena ketiadaan buku-buku pelajaran yang sama dengan kurikulum Belanda. Saya Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk bersama beliau membantu melatih sekian banyak guru di Papua untuk memiliki acuan mengajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tempatan.
Nama Naomi Sosa juga salah satu yang menginspirasi saya ketika bekerja di Papua. Perempuan berkebangsaan Irlandia ini tinggal bersama keluarganya di Wamena guna membantu masyarakat lokal mampu berorganisasi dengan benar dan menyampaikan layanan pembangunan ke kantong-kantong tersulit yang sering kali hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang berpenumpang 3 – 4 orang. Pernah suatu ketika, ibu saya menangis mengetahui bahwa pesawat saya tidak kembali ke kota setelah terjebak di Holuwon (sebuah desa di kabupaten Yahukimo) dan tidak ada komunikasi ke luar kampung. Saya ketika itu bertugas membantu memastikan bahwa kurikulum lokal yang kami kembangkan bersama sama dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak terbayang sudah berapa puluh penerbangan yang Naomi lakukan untuk perjalanan seperti itu. Dan sudah berapa kali ibu dan keluarganya barangkali harus khawatir ketika dia dengan teman-teman Papua menyalurkan layanan kemanusiaan ke daerah-daerah sulit tersebut bertaruh nyawa dan harta.

Waktu saya jalan-jalan ke Merauke dengan keluarga saya, saya menyempatkan ke perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea. Sebuah perbatasan hanya berbatas tugu. Tugu itu kemudian dikembangkan menjadi taman dan kebun nenas lewat tangan dingin dan gaji pribadi Pak Aiptu Makruf yang bertugas sebagai perwira polisi di kecamatan Sota. Bakti tulus pak Aiptu Makruf ini kemudian mendatangkan simpati negara dan dunia yang jauh dari hingar bingar jabatan. Pak Aiptu Makruf bahkan menolak untuk dimutasi ke kota Merauke ataupun daerah lainnya, padahal kecamatan Sota tidak punya Sekolah Menegah Atas untuk anak sulungnya yang kemudian terpaksa bersekolah di kota Merauke.

Di tingkat nasional, nama nama besar seperti Tri Mumpuni dan Ibekanya, Anies Baswedan dan Indonesia Mengajar, Sandiaga Uno dan Indonesia Setara, atau Romo Mangunwijaya dan masyarakat kali code, adalah nama nama pahlawan “kekinian” yang anak muda masa saya harus kenal dan tiru lebih jauh. Mereka hadir dari “arus bawah” dengan karya dan lintas kepentingan.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri, apa pula karya yang bisa saya sembahkan untuk ibu pertiwi? Kenapa pula saya harus lanjutkan rasa memusuhi pada kelompok yang saya anggap tergerus arus politik bebas etika? Jawaban saya satu, untuk terus mewarnai kembangnya politik di Indonesia yang bermartabat. Jauh dari intrik dan konflik kepentingan dan atas dasar keinginan membangun Indonesia yang lebih sejahtera, lahir dan bathin. Agar kelak anak dan ponakan saya bisa hidup lebih baik dari yang saya punya. Hidup berdampingan dengan segala suku bangsa dan agama, tanpa rasa lebih tinggi satu sama lainnya. Hidup yang dipenuhi dengan pertarungan kerja keras dan kesadaran akan pentingnya menjadi mandiri, namun santun dalam laku dan pribadi. Mengamalkan ajaran agama yang hakiki dan meneduhkan sesamanya. Amin…

NB: Tulisan ini sekaligus saya sajikan sebagai permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada kawan-kawan yang kali ini berseberangan pilihan presiden. Semoga teman-teman maafkan saya lahir bathin. Kritik yang saya ajukan sejatinya adalah untuk pihak-pihak yang mengadu domba kita demi kuasa dan kepentingan politiknya, bukan ke pribadi-pribadi kawan-kawan sesama kelompok non partai. Semoga berterima.

Story from Wamena

“As soon as I entered the school yard, the children came to hold my hands. They greet me and share their nicest smiles. I have never had such experience during my childhood! I will definitely take different roads if I coincidently crossing the roads that my teacher is passing. In school, it was worst, I almost believe that I am genetically stupid and that I will never be able to read. The teachers were so mean, they called us stupid, name our ancestors primitive, I drop out as soon as I reach second grade,” said Alianus, A Yali guy from a Yahukimo region of Papuan highland. He stopped for a while, as he could not continue talking to us. “However, I was lucky enough that my mom allowed me to get out of my village, I went to Nabire, I became a household assistant, lived with a married couple from Makassar and Menado. They paid my school fee, although sometimes I was fed rotten nasi and had to work almost the whole hours after school time. Finally I graduated high school, with very minimum reading skill. I then heard that a faith based school opens a college where they teach English and Leadership in Bokondini. Some folks there, even do not have to pay. I join the college and I am lucky enough now that I work for the primary school that runs by one of the expat lecturer as the hydro electric mechanic. I know how to deal with electric power; that basically what my speciality is now”.
Alianus is just one of few highlanders of Papuan regions who is lucky enough to continue education with continuous struggles. Although facing barriers and not simple obstacles, he insists of staying in education. Other fellow youngsters at Alianus age, were maybe have died of HIV/AIDS. Many of the girls are forced to trade sex for graduating from highschool and expects that the government will recruit them as PNS (Civil servant).
This picture can easily be found in many of the highlanders of Papua. Two of the schools I visited with the team several days ago, effectively having teachers teaching by last November 2010. The rest of it, the school simply close! What more ironic is that the teachers themselves are sometimes could not READ. Even if they can, their education capacity only reach the level of third grade students in Sumatera or Java. I had the chance to talk to one of the teacher who is actually living just across the school. She mentioned that the students are stupid, nasty and hard to control. So she found out that education is not an effective way of transferring better social capital, and yet, she is receiving monthly salary out of her status as PNS teacher!
My supervisor really challenges me of an insane situation. For a second, I thought that I would leave the program. But then I know that, and I believe that, in every society, you can always find bad people and good people at the same time. Then I met Alianus and this so generous, humble and dedicated expatriate who opens a school in that environment. He has been running the school for almost two years now. Although it is a faith based school, students coming from different faith background are actually accessing the school without necessarily need to lost their identities. The school environment is very nice, the school people are gentle, they have passion on children and education, and they are very open minded. I observe the classrooms, I found students work displayed, their teaching materials some were made of papuan leaves or rocks, and the teachers are all Papuan. I notice that the teachers are not so handful of teaching skill and methodology yet, but they are keen to learn, and that is the key! The attitude, the commitment, the plan, the structure! At least, particular number of children are accessing such quality education regardless their condition. Number of parents start to think that ijazah is not the objectives of an education. So, I am quite happy with that, and looking forward to expanding such services to more papuan highland children.
Jayawijaya highland, really opens my eyes that in a society where is only 400 kilometers away of the capital of the province, still facing such challenges. Although it is a new decentralized territory (kabupaten), education system functions zero, health service absent, high malnutrition indicators, people are so depressed out of freedom issue, and so on.
I will share you another part of my suspicion about fr**dom issue, which is so political and that is so frustrating both for local government and the communities. But that will be another chapter of my story. For now, I only feel that I am so blessed to experience such phenomenon myself and am so keen on doing something for that society, for whatever capacity that I have.
”Thousand dumbs will only ruin system, but ten brave hearts will make change! I believe!” “Be thankful of what you have and complain less!”
Wamena, 15 May 2011.    

Membela Agama

Bismillahirrahmanirrahiim
Selaku umat Islam yang besar di Indonesia, menghabiskan masa kanak kanak bergaul dengan teman-teman etnis Tionghoa dan menjadi minoritas, lalu masuk pesantren selama enam tahun bergaul di komunitas muslim yang cenderung homogen, adalah kesempatan yang saya rasakan manfaatnya saat ini. Terinspirasi dari banyaknya tulisan yang beredar di media-media online dan diskusi-diskusi offline, terutama catatan Melanie Tedja soal “Kalau pendukung Jokowi mau jujur”, saya mencoba berbagi keresahan yang mudah-mudahan menjadi manfaat bagi diri dan sesama umat beragama dan warga negara.
Sejujurnya, saya pun takut membawa terminologi-terminologi agama dalam menuliskan ini, dikarenakan kesadaran akan terbatasnya referensi pengetahuan agama saya. Demikianpun, saya coba berbagi apa yang saya rasakan manfaatnya sebagai pemeluk agama dan hidup berdampingan dengan banyaknya faham yang berkembang di zaman serba terkoneksi ini.
Sejarah pendirian negara ini tidak terlepas dari tokoh tokoh lintas agama dan lintas golongan. Waktu itu, semangat kebangsaan mengalahkan sentimen politik demi kepentingan masing-masing kelompok. Ketika itu, Islam pun sudah mayoritas, terutama sejak berdirinya kerajaan-kerajaan di bawah naungan Mataram, Banten, Iskandar Muda, kesultanan Ternate dan Tidore, dan seterusnya. Sama seperti berdirinya negara Madinah, Rasulullah Muhammad SAW pun di dua tahun pertama tidak mendirikan negara Islam lalu kemudian menyerahkan penanganan hukum di tangan masing-masing kepala kabilah. Piagam Madinah yang berisi 57 pasal menceritakan secara detail keuniversalan nilai-nilai ajaran Islam sehingga Islam tidak dianggap sebagai penguasa yang lalim, tapi pemerintah yang merangkul dan menyeru kepada kebajikan. Memang sejarah juga mencatat dua tahun paska diberlakukannya piagam madinah terjadi pengkhianatan akan kepatuhan terhadap piagam tersebut untuk kemudian digantikan dengan wahyu Allah yang diturunkan mengikuti konteks sosial yang berlaku (asbabun nuzul/asbabul wurud). Demikian pun, tentu saja kita tidak bisa menggenarilisir bahwa sejarah pengkhianatan akan pemerintahan madinah yang demokratis pada waktu itu akan senantiasa terulang untuk kemudian digantikan dengan Alquran dan Hadist, atau sebaliknya Alquran dan Hadist akan dilarang dijadikan rujukan hukum bagi pemeluk Islam. Bahwa saya menemukan banyak kebaikan-kebaikan yang meneguhkan keyakinan saya pada agama yang saya anut, tidak menjadi motif saya untuk menghabisi pihak-pihak yang saya anggap tidak sesuai dengan ajaran agama saya. Sejatinya, sejarah perang Islam pun atas dasar defensive, bukan offensive. Ketika platform bertata laku sosial menurut hukum syariah dilarang, maka ummat Islam memang harus bersatu untuk menyerukan perlawanan. Tapi perlawanan tersebut tidak identik dengan angkat senjata, tapi perlawanan ide dan dialog kerukunan yang menjelaskan implikasi hukum dari pemberlakuan hukum syariah, misalnya.
Di momentum pilpres ini, kabar mengenai pengkebirian nilai-nilai Islami lewat partai pendukung Jokowi dihembuskan sebagai komoditas politik. Munculnya poster “gallery of rouges”nya Wilmar Witoelar atau isu pencabutan identitas agama di KTP oleh Musdah, daftar perda syariah yang ditolak oleh PDIP atau berita koran online tentang larangan takbir keliling oleh Jokowi yang disandingkan dengan alokasi dana besar besaran di tahun baru oleh pemda DKI, seakan menjadi justifikasi sosial untuk menghidupkan perjuangan meneguhkan nilai-nilai Islam. Beredar pesan-pesan singkat di kalangan masyarakat kecil yang menyamakan Prabowo sebagai panglima perangnya umat Islam melawan kebathilan. Jujur saja, saya sempat termakan oleh isu ini dan berfikir ulang untuk memilih Jokowi dan grup PDIP. Lalu masalah ini saya urai satu persatu;
  1. Perjuangan melawan pengkebirian nilai-nilai Islami dan hukum syariah
Setiap kita tentu merasa penting untuk menjaga nilai-nilai identitas kita. Sebagai umat Islam, saya pun selalu berusaha menunjukkan identitas pribadi saya sebagai umat Muhammad yang saya coba teguhkan dalam keseharian dan pemikiran saya. Tidak jarang dalam diskusi-diskusi paper kuliah hal ini saya angkat dengan tidak merendahkan referensi lainnya yang punya dasar pemikiran berbeda dengan saya. Utilitas nilai tersebut ada pada pilihan pribadi, karena sejatinya hak mendapatkan hidayah itu ternyata milik Allah semata. Kisah perjuangan paman nabi Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak memeluk Islam padahal sampai akhir hayatnya dia senantiasa membela dakwah nabi, menjadi ibrah bagi saya untuk menjaga batas mana yang jadi “otoritas” manusia, dan “otoritas” Allah. Di Sydney sini, dan di beberapa negara non muslim yang saya pernah kunjungi, memang keberpihakan negara akan peneguhan nilai beragama mempengaruhi jalannya syiar. Saya kerap rindu dengan kumandang azan yang disiarkan lewat televisi dan radio, atau pengeras suara masjid. Tapi saya tetap bisa merasakan bahwa kebebasan saya mengekspresikan diri sebagai muslim sangat difasilitasi. Di kampus misalnya, kita diberikan fasilitas ruang sholat khusus yang didanai kampus dan atau pihak-pihak donatur, kegiatan keagamaan pun berjalan tanpa halangan apapun. Di channel-channel radio saya masih bisa mendengarkan kumandang azan dan kumandang tilawah Alquran tanpa harus merasa itu sebagai sebuah keniscayaan pengkebirian nilai Islam walaupun negara ini tidak ditopang oleh budaya Islam yang kuat. Artinya peran negara pada ekspresi saya sebagai pemeluk agama berhenti di soal apakah saya dibolehkan atau dilarang untuk mengekspresikan keyakinan saya. Labelisasi halal-haram, pendirian rumah ibadah, penyebaran dakwah beragama, dan yang lebih penting lagi menyampaikan cara pandang saya yang berbeda akan banyak hal dalam tata nilai kehidupan, seperti penguburan mayit, pernikahan, pengurusan hak waris, dll, tidak dihapuskan oleh negara. Skenario terjeleknya, jika ada usaha-usaha penghapusan nilai-nilai dan hukum syar’i tersebut, fakta tata hukum negara yang berlandasakan undang-undang serta persetujuan legislatif tidak harus seperti sepanik yang diberitakan. Masih ada banyak orang Islam yang tersebar di setiap partai yang duduk di DPR/MPR. Ada banyak orang yang punya integritas yang menginginkan nilai-nilai Islam tetap terakomodir, dan bukan eksklusif mereka saja yang ada di partai-partai berbasis Islam. Di tingkat daerah, kepala daerah dan legislasi daerah punya otoritas mengusung perangkat peraturan daerahnya sendiri, selama undang-undang nasional mengakomodirnya. Artinya ada banyak sekali “usaha” yang harus ditempuh guna mengkebiri nilai-nilai Islam lewat tata hukum bernegara. Ditambah lagi, kita harus terus mendorong pembinaan nilai-nilai yang kita anggap baik, dalam hal tulisan ini saya afiliasikan dengan nilai-nilai Islam, lewat keluarga-keluarga kita. Lewat kebiasaan mengajarkan Alquran sejak kecil, kejujuran, patuh pada orang tua, berteman dengan segala kelompok dan golongan tanpa harus terwarnai, dan seterusnya. Sekolah-sekolah keagamaan harus senantiasa diperbolehkan untuk menebar nilai-nilai ajarannya, selama nilai-nilai tersebut TIDAK dipaksakan untuk diadopsi oleh semua orang. Tanggung jawab utama kita sebagai individu, berhenti pada diri sendiri dan keluarga terdekat (Quu Anfusakum wa ahliikum naara). Ini yang kemudian saya sebut sebagai kepanikan sosial. Penghembusan isu pengkebirian nilai-nilai Islami dan penegakan hukum syariah menjadi kehilangan makna dakwah yang sesungguhnya. Lucunya lagi, secara hukum formal Jokowi dan Prabowo adalah sama sama Islam, dan didukung oleh parpol-parpol / kelompok-kelompok Islam.

2. Perjuangan melawan penyebaran ideologi komunisme

Bukan hal yang baru, bahwa marxisme adalah paham ideologi yang digunakan sebagai propraganda politiknya kapitalis. Marxisme yang sejatinya menghadirkan peran negara sebagai katalisator distribusi kekayaan negara di dalam banyak diskursus ilmiah ibarat dipuja dan dibenci. Dipuja oleh yang setuju bahwa negara harus menjembatani peran semua elemen negara (swasta dan pemerintah) dalam pemenuhan layanan publik dan dibenci karena sering dibelokkan sebagai otoritas menguasai pendistribusian kekayaan negara untuk segelintir kelompok politisi. Di Indonesia, marxisme dan komunisme disatukan. Entah sejak kapan, kedua paham ini menjadi simbol atheisme. Seolah-olah paham komunisme, marxisme, leninisme, sosialisme dan lain-lain adalah intinya “anti Tuhan” dan begitu meyakinkan bagi kelompok yang kurang membaca. Isu seperti ini berhasil dihembuskan di era 1965 ketika Soeharto “memimpin” pembunuhan massal atas nama perang melawan “komunisme anti Tuhan”. Kita dibuat bingung dengan slogan-slogan anti asing, namun mengadopsi propaganda Amerika dalam menguasa kapital dunia sebagai strategi kampanye. Seandainya pun usaha peneguhan komunisme yang anti Tuhan itu muncul, sangat sulit sekali membayangkan seorang Jokowi dan kelompok PDIP menjadi sangat superior mengingat perolehan mereka yang hanya 18%, mengalahkan supremasi sipil yang kian bertumbuh. Segitu tidak percayanya kita pada kemampuan berdebat dan berargumen para politisi dan akademisi kita di tata nilai demokrasi, sehingga mengaburkan pemikiran logis bagaimana bisa ideologi komunis anti Tuhan akan bisa dilanggengkan lewat kekuasaan seorang presiden? Di samping itu, lagi-lagi kita mengecilkan peran kita sebagai orang tua, sebagai individu merdeka yang memiliki otoritas sejajar dengan negara. Justru yang kita perlu khawatirkan adalah sosok pemimpin yang menebar terror dan ketakutan dengan jaket-jaket keshalehan. Yang berusaha menanamkan kebencian pada satu pihak atas asumsi. Padahal propaganda politik anti komunisme inilah yang dipakai kaum kapitalisme Amerika guna meruntuhkan Rusia dan secara konspiratif membantu penumpasan PKI di 1965. Kita kehilangan kepercayaan pada undang-undang sistem pendidikan nasional yang sudah mensortir hal-hal apa saja yang boleh berkembang di sekolah-sekolah. Masyarakat ditakut takuti bahwa anak-anak kita nantinya akan tumbuh sebagai insan anti Tuhan, seolah-seolah semua kehidupan bernegara sangat dipengaruhi oleh seorang presiden.

3. Keshalehan sosial dan calon pemimpin yang Islami

Menurut pandangan subjektif saya yang tidak terlalu menyenangi sinetron, tumbuhnya simbol-simbol keshalehan sosial banyak dipengaruhi lewat tayangan-tayangan musiman ini. Seseorang dianggap semata-mata sholeh ketika bacaan Alqurannya baik, menggunakan atribut ke Islaman seperti kopiah dan tasbih, mengutip ayat ayat Alquran sebagai referensi subjektif, padahal kesholehan itu adalah konsep yang abstrak. Sepanjang yang saya tahu, tingkat ketakwaan dan keimanan seseorang tidak bisa diukur dari atribut simbol yang dia pakai semata, namun tercermin dari keseluruhan kepribadiannya dan hanya Allah yang Maha Tahu sesungguhnya nilai ketakwaan manusia tersebut. Waktu saya kanak-kanak, ada seorang imam di kampung saya yang bersuku Jawa, sehingga melafadzkan “Alhamdulillahi robbil ‘alamin” menjadi “Alhamdulillangirobbil ‘Alamin”. Bukan berarti saya benarkan cara membaca tersebut secara makhraj hurufnya, tapi fakta bahwa pak Imam tersebut selalu menjaga ibadahnya tepat waktu, setia mengajarkan anak-anak di surau untuk mengaji dan kemudian meninggal dalam kesederhanaan memberikan bekas yang mendalam pada saya akan arti kesholehan. Seandainya Sunan Kalijaga yang selalu pakai blangkon hidup di zaman sekarang, mungkin dia pun tidak lolos kriteria sholeh secara sosial. Yang lebih menariknya, kita berusaha memaksakan kriteria keshalehan sosial tersebut kepada salah satu capres kita. Seorang capres idaman kita harus fasih membaca Alquran, memiliki ilmu pengetahuan keagamaan yang mendalam, dan seterusnya. Padahal, dalam banyak kasus, pengetahuan agama yang baik dan kepekaan sosial adalah dua hal yang tidak selalu sinergi, merujuk pada banyaknya orang yang kita anggap sholeh berdasarkan kriteria sosial tersebut terjebak di kasus-kasus korupsi yang juga dilakukan oleh orang-orang yang “tidak sholeh”. Saya setuju bahwa media memiliki peran besar soal mendiskreditkan tokoh-tokoh salah satu partai yang cenderung dihuni oleh kelompok Islam. Seolah-olah kalau orang yang tidak sholeh dianggap lebih boleh korupsi dari orang yang sholeh. Ini juga keliru, tapi jangan campur adukkan kebencian kita pada media yang berpihak tersebut pada momentum pemilihan presiden ini yang sejatinya adalah pertarungan gagasan. Gagasan guna memimpin negara yang lebih maju, demokratis, adil dan mengakomodir kehidupan kita semua sebagai warga negara yang sejajar.

Akhirnya saya percaya, bahwa ada batas di mana kita sebagai umat manusia harus terus mempertahankan nilai-nilai yang kita anggap penting lewat keseharian kita dan batas mana Tuhan punya kuasa pada hidup kita, termasuk pada calon presiden mendatang. Presiden yang tunduk pada konstitusi dan supremasi sipil tidak akan mampu memaksakan ideologi dan nilainya dalam kehidupan kita sehari-hari paska pilpres nanti. Tidak usah panik, jangan bantu sebarkan terror. Mari dukung pilpres kita di pertarungan konsep dan ide yang bermartabat, tanpa terror apalagi label-label subjektif beragama.

Wallahua’lam. 

Namaku dan segregasi antara patron kehidupan beragama dengan sekularisme

Terinspirasi dari beberapa kejadian yang aku alami dengan namaku membuatku ingin menuliskan bagaimana hal ini menjadi norma sosial yang diterima luas oleh masyarakat kita sekarang di Indonesia tercinta. Satu fenomena yang secara tak sadar aku pun termasuk di dalamnya. Celetukan semisal; waduh..jangan cerita bisnis la..ada ustadz di sini, tak enak kita. Atau, sama tengku itu la... Awak tak ustadz, segan awak dia sholat awak tidak... Atau misalnya ketika aku berkenalan dengan orang Indonesia yang familiar dengan istilah Santri dan Pesantren selalu bilang; "Oh..namanya Santri. Koq bisa kerja di NGO?" Atau misalnya, waduh jangan bawa si Santri la..Ustadz masak diajak nongkrong..Bla bla bla...

Alhamdulilah aku terlahir dengan nama Pria Santri Beringin, sebuah pemberian nama yang unik yang sangat cerdas dari almarhum papa. Secara historis, nama itu terinspirasi dari peletakan batu pertama pembangunan pesantren yang dikelola pamanku dan papa. Kebetulan aku lahir satu hari setelah peletakan batu pertamanya. Nama Pria karena aku anak laki laki papa, dan Beringin adalah gelar kehormatan yang diberikan masyarakat Sei Beringin di Pematang Siantar untuk kakekku yang mengembangkan agama Islam di sana. Nah, untuk memohon keberkahan kakek turun ke aku, maka aku pun diwarisi gelar Beringin tadi.

Inti diskusi yang ingin kuangkat di sini adalah bagaimana hebatnya segregasi nilai-nilai serta patron kehidupan beragama dari kehidupan 'sekuler'. Bagaimana hebatnya dakwah anti Islam hidup di setiap nafas kita sehingga kita menjadi pelakunya secara tak sadar maupun sadar. Bagaimana bisa Islam yang mengatur kehidupan manusia secara kaffah disimbolkan sebatas ceramah agama, sholat, puasa, zakat dan ibadah ibadah mahdhoh lainnya.

Terus terang, saya pun tak mengaplikasikan setiap nilai nilai Islam di kehidupan saya. Namun mendengar bagaimana generasi saya mengeluk elukkan guyonan seputar segregasi Islam dan kehidupan 'sekuler' benar benar membuat saya geram. Seolah olah Islam hanya mengatur hal hal yang berkaitan dengan puasa, sholat, zakat, dan lain lain yang secara materil terlihat. Apa iya Islam itu yang hanya melulu melantunkan sholawat dalam pakaian putih dengan sorban rapih serta harum? Apakah dakwah Islam hanya menjadi tanggung jawab ustadz ustadz dan da'i yang gaya pidatonya harus mirip Zainuddin MZ? Apakah pidato agama melulu membahas isu isu seputar ibadah mahdhod dan ketika bicara internet bukan masuk ranah agama dan/atau Islam? I feel so embarrassed by that!

Sebagaimana yang dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia, agama berasal dari dua kata 'a' dan 'gama'. Artinya 'a' tidak, 'gama' = goyah, jadi 'a'+'gama' = tidak goyah. artinya agama adalah hal yang mengatur tentang menetapkan keyakinan dan itu dipakai di setiap sendi kehidupan kita. Jadi tidak ada lagi yang namanya ketaatan beragama dilihat dari disiplinnya sholat seseorang semata, tapi lebih dari itu bagaimana Islam memang dipakai di setiap hal yang mengatur kehidupan kita; termasuk misalnya memelihara binatang ternak, menawarkan jasa, mendiskusikan sesuatu, berpakaian, dan lain lain yang semuanya kita lakukan setiap saat. Dengan demikian tidak ada lagi ruang di mana kehidupan kita bisa terlepas dari agama! Sekali lagi, agama adalah tentang keyakinan yang diaplikasikan di setiap sendi kehidupan manusia, tidak bisa disegregasi, tidak perlu disegregasi, tidak perlu diatur terpisah! Tidak ada lagi pemikiran bahwa kalau kita sudah sholat bahwa kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar, belum tentu! Pembahasan tentang kewajiban sholat dan lain lain sudah jelas nashnya (undebatable), yang menjadi isu adalah bagaimana asosiasi kita tentang beragama!

Islam hanya sebuah nama, lebih dari itu Islam sendiri adalah kita (alam) dan kehidupan kita yang diajarkan oleh Baginda Muhammad Sallalahu 'Alaihi Wasallam lewat wahyu Allah yang disampaikan melalui Jibril. Ini tentang mengabdi, ini tentang patuh...

Think out of box. Think Islam out of our self preferences. There is no such Islam in one box! One minute you consider you as moslem, the other time you think that you are just human being! There is no such opportunity I would say. It is holistic, it is kaffah. And of course, it is between you and your God and other human being..

Wallahua'lam

Yang tak tahu adalah yang tahu dan yang tahu adalah yang tak tahu

Di beranda rumah guruku aku dan beberapa anggota jema'ah sholawat duduk mendengarkan guru bercerita. Kejadian itu selepas pembacaan sholawat dan menyantap beberapa potong penganan lemang serta kue-kue lainnya ditemani secangkir kopi atau teh. Suasananya malam, hening, tentram karena baru saja selesai membacakan sholawat untuk nabi...
Di tengah-tengah perkataannya, guruku melontarkan sebuah kata-kata hikmah; "orang yang tahu adalah dia yang tak tahu, sedangkan orang yang tak tahu adalah dia yang tahu.."
Lama aku dan beberapa jama'ah memahami makna hikmah ini, bahkan sampai saat aku menuliskan catatan ini masih saja aku merenungi maknanya. Ah..sungguh dalam teka-teki makna hikmah ini.
Seiring berjalannya waktu, dan kehidupan yang dilalui, akhirnya aku banyak menemui sosok manusia yang seperti digambarkan guruku. Bahwa orang-orang yang bersahaja, tidak terlalu banyak mengekspos opini-opininya ternyata lebih memberikan manfaat bagi orang-orang sekitarnya. Misalnya sosok paman yang sekaligus guruku ini, sepanjang yang kuketahui, dia bahkan tidak ingin dituliskan biografinya sebagai salah satu tokoh di kota kami tinggal. Biasanya, dalam kehidupan yang 'modern' ini, profil orang seperti beliau akau sangat laku ketika dituliskan dalam bentuk buku. Jarang sekali beliau mengomentari tentang istilah demokrasi, kepemimpinan, thinking out of box, dll istilah modern yang sangat dikagumi orang2 generasiku. Namun pada kenyataannya, dalam beliau bertutur, dalam beliau menanggapi pengaduan kami sungguh sangat solutif dan jauh dari menghakimi. Beliau terang-terangan menolak untuk diangkat menjadi Ulama di kota kami dan apalagi menjadi penasihat di partai politik serta di lembaga kepresidenan sekalipun! Seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk kemaslahatan murid-muridnya.
Atau misalnya mengambil contoh Rasulullah SAW, dalam banyak tulisan sejarah Islam, nabi Muhammad dikenal sebagai seseorang yang 'Ummi' artinya tidak bisa baca tulis! akan tetapi kebutaaksaraan nabi (baca ketidaktahuannya) membuktikan hal sebaliknya! Bahwa beliaulah perantara tersampaikannya kalam Allah, penyempurna ilmu pengetahuan yang ada di dunia, pemimpin yang dipuja sepanjang masa! Belum ada satu pun pemimpin dunia yang bisa teguh pada prinsip hidup sederhananya di tengah-tengah jaya dan makmurnya (secara keuangan dan materiil) kekuasaan Islam masa itu. Rasulullah SAW bukan seorang PhD dari Univ ternama pada masa itu (konon pada masa itu sudah berdiri maktab-maktab sastra dan filsafat ternama yang ada di jazirah Mesir dan Mesopotamia), namun perkataan-perkataan nabi yang kemudian dibukukan sebagai hadist memiliki nilai sastra yang jauh lebih dahsyat dari misalnya semboyan 7 wondersnya Dale Carnegie, atau tulisan-tulisan Socrates tentang Plato di buku-bukunya!
Yang paling dekat dan sedang membooming adalh masa menjelang PILPRES di Indonesia sekarang. Banyak sekali orang-orang yang kelihatannya sangat cerdas dalam beropini, akhirnya ketahuan juga motifnya untuk kekuasaan. Angka Golput di Pemilu Legislatif adalah gambaran banyaknya orang yang tidak (belum) percaya pada sistem politik di negara ini. Orang-orang yang katanya tahu arti demokrasi ternyata tidak tahu bagaimana mengejewantahkan demokrasi itu dalam pembuatan platform partai, pengangkatan isu kampanye, koalisi, dan lain-lain dan lain-lain..
Ah..sebaiknya saya berhenti, sebelum saya pun menjadi orang yang (merasa) tahu padahal tidak tahu..
A'udzubillah min dzalik..

Menggerutu

30 September 2009 sekitar jam 5 sore, sebuah gempa tektonik mengguncang wilayah barat pulau Sumatera. Kekuatannya sekitar 7,6 skala richter, sekitar 45 km dari garis pantai pesisir pariaman. Kroban meninggal terhitung ratusan orang, ribuan luka luka dan ratusan ribu bangunan rumah, sekolah dan rumah sakit serta fasilitas umum lainnya rusak berat. Sampai dengan tanggal 30 October 2009, sekitar 8 titik pengungsian permanent telah teridentifikasi di kabupaten Pariaman dan Agam. Lebih kurang 6,500 jiwa mengungsi karena kampungnya sama sekali hilang ditelan lumpur longsor.
Tanggal 3 Oktober (tepat 3 hari setelah kejadian) saya mendapatkan telfon untuk membantu tim di lokasi bencana, mencari tau kebutuhan pendidikan untuk anak anak korban gempa. Tanggal 4 Oktober saya mulai berangkat ke lokasi dan bersama satu orang teman kantor berangkat dengan pesawat yang sama dari Medan ke Padang.
Perasaan yang ada saat itu adalah sangat senang sekali, karena selain sumatera barat adalah kampung halaman, keinginan kuat untuk turut belajar tentang pendidikan tanggap darurat ada di benak saya.
Sekitar pukul 7 malam kami tiba di kantor sementara organisasi tempat saya bekerja. Ada beberapa wajah lama dan banyak wajah baru. Semuanya kelihatan letih, banyak yang baru selesai distribusi bantuan dan banyak yang baru selesai seliweran rapat rapat koordinasi dan penggalangan dana. Sempat terlintas rasa tak enak, saya tiba di kantor langsung istirahat ngopi, sementara korban masih banyak yang belum tertangani. Akan tetapi protap tanggap darurat ada diberlakukan, saya pun akhirnya menghabiskan kopi segelas sambil menunggu instruksi dari team leader.
Team leader kami berasal dari Australia; spesialis tanggap bencana yang sudah melanglang buana ke banyak lokasi bencana alam dan peperangan. Sangat apresiatif sebagai atasan dan sangat bersimpati sebagai pekerja kemanusiaan. Saya suka caranya menghargai orang.
Sebulan berlalu sejak gempa terjadi, banyak hal yang kami sudah coba lakukan. Demikianpun, saya mulai menggerutu...
Menggerutu karena banyak pekerja yang datang dari luar (ex patriate) yang tidak memiliki pengalaman tanggap bencana datang dan mencoba mengatur teman teman di lapangan tanpa tujuan yang jelas. Saya sedih karena orang orang saya (Indonesia) yang sudah sekian daerah bencana dibantunya mendapatkan petunjuk dan arahan yang tidak jelas arah dan kebutuhannya. Semakin jelas belakangan, arah dan tujuannya adalah mencari dana!
Saya sedih, saya marah, tapi saya tak berdaya karena dilema.. Satu sisi kita memang butuh dana untuk membantu korban secara sistematis dan struktural, satu sisi karena saya pun berada di lingkaran pencari dana itu.. Saya hanya bisa menggerutu.. saya ingin membantu. Saya ingin tangan Tuhan menolong saya dan memberikan kekuatan untuk mempertahankan idealisme kita orang Indonesia untuk mapan dan mandiri bahkan di situasi paska gempa bumi..!
Kadang saya berfikir, ada baiknya bergabung di tempat yang tidak profesional saja! Lebih lepas dan tidak banyak kepentingan...'Entahlah.. Namanya orang menggerutu!

Lembayung di perbatasan

Di tengah kebencian saya yang luar biasa tinggi terhadap kepolisian republik ini karena kasus sendal jepit Aal di Palu, penyerbuan Mesuji,  kriminalisasi bocah 12 tahun bernama Fahmi di Medan, pembunuhan bersaudara di penjara Pessel Sumbar, momentum tahun baru lalu setidaknya mengembalikan akal sehat saya untuk memilah-milah persoalan dan perasaan. Bahwa kurang bijak membenci polisi dan institusinya, toh masih ada segelintir kecil dari personnel kepolisian yang menyejukkan hati jasanya.

Waktu itu saya dan keluarga sengaja berkunjung ke Merauke untuk merasakan pembukaan tahun 2012 dari ujung paling timur Indonesia. Sekadar melihat-lihat, mumpung sedang di Papua.

Perjalanan Jayapura-Merauke paling efisien ditempuh dengan pesawat terbang, kurang lebih 1 jam dari Bandar Udara Sentani, Jayapura. Setibanya di Merauke, dengan menumpang taksi rental dari Bandara kami menginap di salah satu hotel Melati di merauke. Bincang-bincang dengan beberapa referensi di Jayapura dan rekomendasi sang supir taksi rental, cuma ada satu tujuan wisata paling populer di Merauke ini; Distrik Sota! yang menjadi perbatasan antara Republik Indonesia dengan Papua New Guinea.

Tanggal 31 Desember 2011 tersebut, kami akhirnya berkunjung ke Sota. Sebuah kecamatan yang jaraknya kurang lebih 80 km sebelah timur kota Merauke, Sota dapat ditempuh dengan mobil selama kurang lebih 1 sampai dengan 2 jam (tergantung cuaca dan gaya mengemudi). Sepanjang perjalanan menuju Sota, kita disuguhi oleh hutan mangrove yang cantik sekali, yang konon katanya dulu menjadi tempat lalu lalangnya Rusa yang menjadi icon kabupaten Merauke.

Cerita tentang indahnya Taman Nasional Wasur dengan rumah semut (musamus) setinggi 8 meter serta rusa dan kanggurunya bagi saya kalah menyentuh dengan cerita tentang Aiptu Ma'ruf. Seorang perwira polisi dengan jabatan wakapolsek di distrik Sota yang membuka hati dan akal sehat saya tentang seorang personnel polisi.

Dulu saya sempat baca-baca artikel tentang Nasionalisme Ma'ruf yang diterbitkan kompas atau diberitakan kaskus. Waktu itu bathin saya berkata, "ah, kadang-kadang wartawan lebay aja memberitakan sesuatu.." Fikiran itu sama sekali pupus! Melihat Aiptu Ma'ruf yang jauh dari citra polisi yang tukang minta duit, semena-mena dan arogan. Aiptu Ma'ruf mengarahkan mobil kami yang parkir di halaman taman perbatasan Sota! Dengan senyum dan tanpa kesan dibuat-buat!

Turun dari mobil saya masih sedikit sinis dengan laki-laki berseragam itu. "Mesti ada maunya," bathin saya mencurigai.
Apalagi di mana-mana saya melihat papan tulisan "Taman ini dirawat oleh Aiptu Ma'ruf" Ha! jelas sudah, manusia haus publikasi! pikir saya masih sinis.

Beberapa menit setelah saya ambil beberapa foto tentang taman tersebut Aiptu Ma'ruf mulai terlihat mengambil sapu dan memungut sampah sisa pengunjung sebelum kami tiba. Iba saya mulai muncul. "Bantu-bantu pungut sampah apa salahnya." fikir saya.

"Dari mana pak..?" tanya Aiptu Ma'ruf. "Dari Jayapura pak.." jawab saya mencoba sopan. Tanpa banyak basa-basi saya langsung bertanya-tanya kenapa beliau ada di sini. Pak Ma'ruf menjawab "karena saya senang ada di sini".
Akal sehat saya berusaha mencerna apa maksud kata 'senang' tersebut. Apa enaknya tinggal di tempat yang jauh dari mana-mana, bahkan listrik pun belum ada, sementara beliau belakangan saya tau sudah beberapa kali dipromosikan untuk pindah tugas ke tempat lain!

"Anak istri Bapak di sini juga?" tanya saya lagi. "Siap! Sejak kami menikah. Tapi anak saya yang nomer satu di Merauke, karena tidak ada SMA din sini."

"O..." bathinku melongo. "Koq bisa pak? Kenapa?" tanyaku kayak setengah tak percaya.

"Hidup ini kalau dinikmati indah sekali pak..!" demikian celetuk pak Ma'ruf. "Saya di sini dari tahun 1993. Waktu itu saya yang biasa berkebun di 'kampung' saya di Nabire koq ngerasa gak enak cuma duduk-duduk aja di kantor" lanjut pak Ma'ruf berkisah. "Lalu saya main-main ke tugu ini. Waktu itu ilalangnya dua kali tinggi kita berdiri, belum ada taman bunga. Apalagi saung-saung ini" tutur pak Ma'ruf.

"Jadi Bapak yang membersihkan dan membuat taman ini?" tanya saya terheran. "Siap!" jawab perwira polisi tersebut.

Percakapan kami pun menjadi lebih akrab. Sekat kebencian saya akan seorang personnel polisi perlahan-lahan pupus. Ma'ruf bagai positive defiance di kumpulan keprihatinan kesehatan kinerja kepolisian (mencontek istilah pendekatan kesehatan).

Usut punya usut, ternyata tulisan-tulisan yang terpampang di mana-mana itu adalah pemberian dari Presiden RI. Sebagai penghargaan untuk kerja keras beliau. Bayangan tugu Sota yang berisi semak belukar dan jauh dari kesan indah itu menjadi sulit dibayangkan ketika kami berkunjung ke sana!

"Tiap pagi, habis apel di kantor saya mohon izin ke sini. Saya membabat rumput, menyiram tanaman, atau sekadar memungut sampah yang berserakan" lanjut beliau menambah kekaguman saya.

"Sesekali anak istri saya ikut membantu." sambungnya lagi

"Tidak ada operasional dari kantor pak?" sidik saya sedikit penasaran.

"Ah, tidak perlu pak. karena tugas penjagaan wilayah perbatasan sebenarnya diserahkan kepada TNI. Tapi cor lantai ini dari anggara APBN." jabaw pak Ma'ruf.

"saung-saung ini, bunga-bunga, tempat sampah dan musholla ini? Bapak yang buat?"

"Siap!" jawab perwira itu lagi.

Sakin cintanya pak Ma'ruf dengan perbatasan Sota ini, beliau bahkan sudah menciptakan beberapa lagu. Yang terbaru malah sempat saya rekam di perangkat telpon seluler saya.

Tugu.. perbatasan Sota...
yang terkenal di .. mana-mana...
Siapa yang datang ke sana
pasti akan terpesona ...

Suku kanunnya menjaga adatnya..
taman wasurnya.. perlu kita yang jaga...
negara tetangga jalin hubungannya...

mari bersama... kita berkarya...
demi kemajuan bangsaaaa...

mari bersama... kita menjaga...
demi... keutuhan bangsaaa...

Demikian petikan lagu ciptaan pak Ma'ruf.
Kental semangat nasionalisme tanpa mengabaikan hak-hak suku asli! Suku kanun yang menjadi penghuni asli taman nasional Wasur sengaja disebutkan beliau katanya agar orang-orang juga tau bahwa mereka adalah penjaga utama pintu perbatasan ini dan pembeir citra Indonesia dengan negara tetangga.

Ah.. Pak Ma'ruf..! Saya jadi malu, bathin saya.. Di sepanjang perjalanan pulang, saya sempat melihat kebun-kebu nenas yang beliau tanam dengan suku Kanun tersebut! Jadi tambah malu saya.. Ke sana sini membawa image pemberi perubahan untuk masyarakat, belum satu kebun masyarakat pun yang sempat saya tanam dengan mereka...

Kharisma pak Ma'ruf seperti lembayung... Samar di ufuk senja.. namun begitu indah...!

"Salut Pak Ma'ruf! Semoga Allah yang Maha Kaya senantiasa mencukupkan Bapak dan keluarga serta melimpahkan kehidupan yang hebat untuk keturunan-keturunan Bapak... Amin..."
hutan mangrove Taman Nasional Wasur, Meraukehutan mangrove Taman Nasional Wasur, Merauke
saya, istri dan Aiptu Ma'rufsaya, istri dan Aiptu Ma'ruf
di tugu perbatasan RI-PNG di Sotadi tugu perbatasan RI-PNG di Sota
kebun nenas pak Ma'rufkebun nenas pak Ma'ruf
musamus 6 meter di Wasur

The main significant effective intervention to save the world! However, have mostly been forgotten!

Tadi malam sebelum berangkat tidur sempat nonton National Geographic. Ada acara Strange Days on Planet Earth. Luar biasa informatif dan menyejukkan kepala dan hati, ekspresi yang bisa kukatakan! Ada banyak fenomena alam yang diangkat dari acara tersebut yang menghubungkan semuanya kepada punahnya populasi spesies dan jumlah ikan, jadi slogannya "Save the fish, save the planet!"
Cerita dimulai dari ketidaksengajaan seorang peneliti di Afrika yang berkebangsaan Amerika tentang jumlah spesies hewan langka yang berkurang secara drastis di Taman Nasional Hutan Savana Ghana. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu jauh (saya lupa interval waktu penelitiannya), singa hutan berkurang sebanyak 80%, gajah afrika 70%, antelope sekitar 44%, dll. Di lain statistik ada fenomena yang menarik lagi, bahwa populasi babon meningkat menjadi sekitar 27% dalam 10 tahun belakangan. Usut punya usut, sang peneliti menemukan akar masalahnya adalah karena berkurangnya populasi ikan di Ghana. Ini dia dapatkan dari sebuah pidato kenegaraan presiden Ghana yang menyatakan bahwa ikan adalah sumber ekonomi terbesar untuk negara tersebut. Dan oleh karenanya, karena ikan berkurang untuk dijual dan dimakan, para penduduk miskin yang mengandalkan ekonomi dari menangkap ikan dengan mengalihkan buruan ke binatang liar yang lain, seperti singa, gajah, dan lain-lain. Karena predator besar seperti singa berkurang, maka predator kelas 'menengah' seperti babon meningkat pesat (karena berkurangnya jumlah pesaing pemakan daging dan buah). Sekiranya ikan berkurang, maka rantai makanan akan terganggu sekali! Ujung-ujungnya, manusia di Ghana sulit untuk makan dan hidup tenang karena babon yang meningkat jumlahnya mulai memakan ternak dan hasil pertanian masyarakat. Hm... Save the fish save the planet!
Lain lagi cerita fenomena 'unik' dari laut seputar pantai Namibia. Hampir setiap beberapa tahun, masyarakat pesisir di Namibia bisa menemukan puluhan TON ikan laut mati terdampar di pantai. Usut punya usut ternyata ini terjadi karena laut di Namibia mengeluarkan H2S dan Metana setiap beberapa periode sekali (lupa juga interval waktunya). Hasilnya, ikan-ikan yang terjangkau oleh ledakan akan mati dan terdampar ke pantai. Apa iya, sebuah ledakan dapat terjadi tanpa pemicu? Akhirnya para peneliti menemukan bahwa fitoplankton yang banyak di perairan Namibia mati dan mengendap di dasar laut. Endapan fitoplankton yang kapasitasnya bisa mencapai puluhan metrik ton mengeluarkan bakteri perusak yang besar yang bereaksi dengan air laut dan daratan laut untuk menciptakan gas metana dan H2S. Akhirnya, metana memicu ledakan dan H2S mengeluarkan racun yang mematikan ikan-ikan. Kenapa fenomenanya baru sekitar 100 tahun belakangan muncul? Jawabannya satu; karena fitoplankton dibiarkan mati sia-sia! Dulu ada ikan sarden yang memakan fitoplankton-fitoplankton tersebut sehingga mereka tidak sempat mati mengendap di dasar lautan! Lagi-lagi, save the fish save the planet!
Dari dua kejadian di atas, aku belajar bahwa pemicu terbesarnya hilangnya populasi jenis dan jumlah ikan karena 'over fishing' alias memancing yang berlebihan! Lama merenung, akar masalah manusia menjadi over fisihing adalah karena 'rasa tamak'. Jadi, tetap sajalah, apapun programnya, yang paling efektif untuk menyelamatkan dunia adalah dengan menyelamatkan diri dari penyakit hati, seperti tamak! Semoga senantiasa dilindungi dan diberkahi Allah dan seluruh umat manusialah orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk mengajak umat manusia untuk memperbaiki hati!
Save the heart, save the planet, save civilization!

Poetic

ust trying to be...
Not even expect the result
It's an expression, and that's it!

How could we lose those
of what we really are
under dictation and power?

You and me is human
no more no less
no above no below
it's flat! That's how it should be..!

Poetic! My piece of emotion!

The only effort I can have
As you are leveling yourself
And I don't want to be dragged in

Be there as you wish
I will see and wish the best for you
Leave me here...
Leave me here...

Poetic! That's it!

Journey is a friend

Unlike Lenka’s song, I replace trouble to accompany the word to our friendship. The more than just 240 hours memory with any of you has shaped another box of my life-time timeline.
This is around 4 AM in the morning, very close to the last day of our pre departure training before pursuing our individual dreams and future. I failed to obey the IELTS guidance book advice to not to get to bed too early, and as a result, I woke up too early.
I might be sentimental, but trust me I am not one of ‘Bracherianism’, if you know what I mean. This is just another genuine feeling to represent my gratitude to our relatively new bound of friendship on top of writing piles, reading assignments and karaoke nights. The Pecutan travel, the saman dance, the win and loss in the pro evolution 2013 soccer games, and many more stories to tell our grandchildren later or our grandparents at any time in near future (if they are still around of course).
I don’t know what to call this sort of writing. This is too long to call as poetry, and is too short to call as a short essay. This does not meet the requirement for 150 words academic task 1 essay, moreover the 250 words of task 2 essay! So, let’s call it my sincere gratitude. And let’s begin cherishing the friendship! Adios mi comrade! Until we meet again!  

Denpasar, 18 October 2013


Goa GajahGoa Gajah
Bon OdoriBon Odori
Pecatu HillsPecatu Hills
The boys minus JozeThe boys minus Joze
Karaoke girlsKaraoke girls
Lunch at homeLunch at home
Happy coupleHappy couple
Pecatu walkPecatu walk

How does it feel to settle?

It’s the banner at the Daceyville avenue that reminds me of a date, a date which indicates another sooner time to move. Sydney is just another host for our temporary settlement, yet the feeling to leave it is becoming harder from time to time. Another destiny to explore. Another friends and families to bound, hopefully.

Yet I understand the philosophy of moving, like water. A running water enables fishes to breed, allows organism to grow and makes life cycle possible. Like life and death, both have to be around human history, to ensure mankind existence and emergence of dynamism. Like a volcano that explodes larva, it ‘kills’ itself to enable farmers cultivate their crops.

Perhaps, the analogy is the same to love, too. Like marriage amidst conflict and turbulence. Perhaps it will take the married couple to a stage where old ideas and norms are no longer relevant to this dynamic of life. Like what I do and what my father did not do, in the contemporary gender role terms.

One thing I know for sure before death restricts me to predict, that tomorrow is another sun to rise. It will always be set for moon to light. That there will be Monday after an easy Sunday. There will be babies after fetuses. There will be butterflies after caterpillars. It’s like mom’s love, too. It is eternal, it is forever and it is never be enough for you to repay it, until death restricts you to do so.

After breakfast In the middle of assignment due, 28 August 2015   





Vernacular education

“You have to go to school in French. If you learn in Mandika or Peul, you’re not educated,” said a father from a village in Senegal during Victoria Baker survey in 1989. Although many studies across the world present advantages for children educated in native/mother tongue, the resistance is often coming from the very people who may benefit from the intervention (Baker, Victoria, 1996). This raises the question if the Indonesian government who govern more than 700 active spoken languages (UNESCO, 2005) need to allow schools teaching their students in the language that children consider as their mother tongue. The author of the essay will elaborate his stance why he proposes to apply vernacular education approach for primary schools in Indonesia.

It could be argued that the Indonesian government should allow teaching-learning processes in the classroom held in the local languages, in particular for primary school students. First of all, this is because second language acquisition largely starts to develop after the first 6 to 8 years of their studies (Magga, Ole Henrik et.al, 2004). This logic leads to the need of delivering learning processes in the language that is considered as the students’ first language, so that learning expected outputs will be ensured. Both students and teachers comprehend larger lexical resources in their first languages to ease key subject terminologies introduction. However, Victoria Backer (1996) argued that language usage will not sustain when its use is limited in modern economy. She claimed that no single model of vernacular education is proven sustainable, including in learning, when they are not used in daily economic activities. Thus teachers and parents are reluctant to agree on it. Counter objection is claimed by Ole Henrik Magga et. al (2004). They emphasize that language is not only meant as media of interaction but also method to convey values and knowledge contained in it. Therefore, learning in vernacular approach is not only teaching students to tune in with the learning but also to understand the essence of the learning itself.

Second support of the preposition maintains that vernacular education approach is proven to give greater academic achievement results. Deep and large studies across the continents have been conducted for many years. Including those conducted by Skutnabb-Kangas (1987) on minority immigrant worker group of Femmish in Sweden, Saikia and Mohanty (2004) on minority Bodo tribe in Assam, India, and Thomas and Collier (2002) on minority tribes and races across USA. All lead to the conclusion that all students from such groups are proven to achieve greater academic results compared to their fellows whom are taught in non native languages. The academic output is particularly astonishing on Math and Literature. It has been argued elsewhere that, however, teacher training efforts are more determinants to quality education than vernacular language medium. The two issues are however cross cutting in themselves so that the logic of vernacular education contribution on academic achievements is undeniable.

In addition to the previous two major preposition reasons, Ari Lestyorini (2008) emphasizes that Indonesian constitution year 1945, article 32, is legally guaranteeing the importance of preserving local language(s). Legal basis on the efforts is another mandatory obligation on why the government must allow vernacular education approach. Indonesia is among countries that ratified the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR, 1966) and Convention on the Rights of the Child (CRC, 1989) that mandated the governing countries to uphold the right of children from indigenous and minorities on attaining education in the language that their mothers speak. This is deemed important by law, as it is leading towards end of poverty actions.

“What is the most critical (and cost effective) input to change the conditions of poverty, or rather to expand human capabilities?” “There is a ‘general consensus’ among the economists, psychologists and other social scientists that education is perhaps the most crucial input” (Misra & Mohanty, 2000).

However, budget allocation to implement the efforts is enormous, claimed Backer (1996). In the case of the government of Papua New Guinea for example, although have been passing the law to endorse teaching in vernacular language, myriad of resources development must be funded and therefore is expensive. Yet, I believe the importance of preserving the values within the language exceeds the budget. Therefore, vernacular education will need to implement.


Bibliography
Backer, Victoria. 1996. Native Language versus National Language Literacy: Choices and Dilemmas in School Instruction Medium. Eckerd College. Florida, USA

Lestiyorini, Ari. 2008. Eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dalam persaingan global. Universitas Negeri Yogyakarta


Magga, Ole Hendrik. Ida Nicolaisen, Mililani Trask, Tove Skutnabb-Kangas and Robert Dunbar. Indigenous children’s education and indigenous languages. Expert paper written for the United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues.

Academic Debate in Formal Education; Why Bother?

Questions like “Is nuclear power safe?” or “What costs will people pay higher if cheap cars are in the market?” endorse the need for critical attitude development. However, the need to build critical attitude through academic debate in formal education system yields controversies. Many educators believe that critical attitude is the natural process of people growing older and the direct result of people’s exposures to education (Greenstreet R., 1993; pg. 22). The imposition of debate in formal schools and universities as means to build critical attitude will just be additional burdens for both teachers and students. However, studies on the benefit of academic debate upon students and teachers prove to give significant difference of critical attitude between those who are engaged in debate and those who are not. Debate compulsory course in the University of Alberta-Canada, Science and Education Program Studies in 2003, for example, has helped the students and teachers to not only being critical about science theories and science related discoveries, but also to be more responsible on the application of science in the society (M. Gunn, Thelma et al, 2008, pg.168). The university stakeholders claimed that the incorporation of debate course has helped their graduates and lecturers to not only acquire higher level of intelligence but also to be ethically responsible of technology and science application offered to the world (M. Gunn, Thelma et al, 2008, pg. 175). Chien-Hui Yang, a PhD researcher from Singapore Nanyang Technological University (2012), further emphasized that 80.4% of teachers agreed that debate help them to make connections between the subject matter and the real life experience, and Munakata’s (2010) study proved that students engaged in debate are encouraged to be active participants in their fields. This paper, therefore, presents further reasoning on why debate in formal education system is essential and what skills can students and teachers / lecturers acquire if debate is mandatorily applied in their curriculum.
Academic debate attempts to be defined as a school or college activity where students engage in debate on two opposing sides. The students on each side try to persuade a judge or panel of judges to support their side of an issue (The Dictionary of Forensics 3.0a, 2009, pg.5). There are certain rules and regulation applied during the course of a debate, including time allocation per speaker, objections’ and rebuttals’ manners, relevancy of arguments, and so on. While the rule is set firmly for every discipline of studies, the topics in debate accommodate the wide range of field of studies to allow wide participation of students and teachers from various academic disciplines.

Firstly, it could be argued that critical attitude is already the direct result of exposure to education and part of the natural process of growing up of age (Greenstreet R., 1993). Vygostky (1978, 1986, 1987) further classified critical attitude as experiences that someone or group of people gain collectively, and as experience that someone acquires individually, which both can create and alter somebody’s logical schemata. Relying on these theories, many argued that the higher the level of somebody's education, their mental and physical age, the more they are exposed to the need of thinking and behaving critically. This is because people with higher education and more mature mental and physical age meet more various opportunities of life-related questions. In addition, as part of the natural process of critical thinking development, human start to develop abstract thinking by the age of 11 and continue to develop. (Piaget J.,1970). However, significant difference is found on the study between the non-debating societies and the debating societies. As a result, teachers and students who are engaged in academic debating activities are less reliance on given textbooks and lectures, but more on synthesizing original and objective ideas. This is due to the fact that these students and teachers/lecturers need to prepare themselves with background reading on variety of views to consider as objective and more valid arguments before a debate. And this background reading allows students and teachers to avoid bias and personal beliefs which can dictate the objective arguments.

Secondly, it was argued elsewhere that academic debate is not essential for every student. Students who study natural science do not need debating skills, as they may lack the need for dissenting opinions. This group of natural science students claims that scientific theories and findings are based on scientific and reliable method. Therefore, there is very little room to debate upon a scientific research. However, natural science is as dynamic as social science following human development needs. Similar to any academic field, natural science is not absolute. Newton’s theory of relativity, for example, is in contrast with Einstein’s. Old astronomers used to believe that the world was flat before Christopher Columbus’ sail around the world, when he returned to the same spot where he started it, indicating that the globe is round. In addition to these, natural science must prioritize the creation of foundation for proficient and ethical consumers of scientific change. Human can always offer new technology for example, but the technology must consider appropriateness within societal context to become sustainable. Thus, debate is equally essential for both natural science studies and social science studies. Another opposing view to rebut upon the opinion that natural science students do not need academic debate is that all academic disciplines require students to maintain theories they adopt as reference at various levels of use. Thelma M. Gunn, Lance M. Grigg, and Guy A. Pomahac (2008), professors in bioethical sciences at University of Lethbridge, maintained that “science curriculum now emphasizes the importance of learner's metacognitive awareness by attending to declarative (i.e what), procedural (i.e how) and conditional knowledge (i.e when)". Therefore, there are always layers of scientific research can be debated upon before they actually be shared as the ‘latest’ finding.

Additional opposing proponents of debate in formal education states that critical attitude development has been integrated in the existing subjects. This group argues that the status quo subjects already require students to expose theories in balance of opinion. However, the opposition proponents negate the fact that a non-mandatory approach as provided by the current status quo of formal education subjects fail to respond to the development of a critical attitude. Examinations using questions taken from source of text / information (content-based instructions) are more easily be found than questions which require students to have analysis before the answer (inquiry-based instructions). The majority of teachers, university lecturers and students opt for rote and reproductive learning styles, simply because they find rote and reproductive learning a lot easier to hold. In addition to this, when debate is not applied as a mandatory approach, teachers, lecturers and students do not make efforts to apply the debate. They do not see any additional rewards imposing debate in classroom, because the debate non mandatory initiatives will not be taken as academic credit. As a result, Omelicheva (2005) studied 130 online syllabi for undergraduate political science courses and found that only three incorporated debate, despite the universities’ suggestions about imposing debate in class rooms.

Finally, debate proponents’ reason on why we need to apply academic debate is that debate provides hands-on tools to practice critical skills. A debater can comfortably express dissenting ideas in an academic atmosphere, as he finds certain rules and regulation are set which people must obey during the course of a debate. The rules and regulations set include managing emotion when paraphrasing opinions, arguing a claim, objecting to logic, etc. In addition, academic debate facilitates two ways of interaction that enables everybody to participate, because debate regulates the domination of opinions expressed during the course of its conduction. Although failure to balance domination of opinions can always occur in the hand of a weak facilitator, however, debaters can easily find common ground as a more valid reference. This is due the nature of every intelligence proves that “rational argumentation is the absolute result of critical thinking which every intelligence nurtures” claimed Patterson and Zarefsky (1993). They further emphasized that “the development of arguments... encourages critical thinking because it consistently demands the questioning, examining and restructuring of knowledge according to the laws of validity and warrant."

In summary, imposing academic debate in formal education system is not an additional burden for both teachers/lecturers and students. Critical attitude as offered in an academic debate practice is implementable to all disciplines and contexts with hands-on tools and experiences. The stimulation to analyze, synthesize and therefore view perspectives in valid and warrant reasoning is a definite result of a debate activity. This in both immediate and long term will create a long lasting critical attitude among students. Moreover, studies across the globe have been widely conducted and consistently yielded significant difference between debaters and non-debaters, in terms of their critical attitude and positive contribution to the society. Thus, why not bother?


References
Hall, Dawn, BS, MPT, PhD, 2011. Debate: Innovative Teaching to Enhance Critical Thinking and Communication Skills in Healthcare Professionals. The Internet Journal of Allied Health Science and Practice, Vol. 9, No. 3, pg. 1 – 8

Hanson, Jim et al, 2009. Dictionary of Forensics 3.0a, West Coast Publishing

Greenstreet, Robert, 1993. Academic Debate and Critical Thinking: A Look at the Evidence. National Forensic Journal, XI (Summer 1993), pg. 13 – 28

Gunn, Thelma M., Lance M. Grigg and Guy A. Pomahac, 2008. Critical thinking in Science Education: Can Bioethica Issues and Questioning Strategies Increase Scientific Understandings?. Journal of Education Thought, Vol. 42, pg. 165-183

Warner, Ede Dr. and Dr. Jon Bruschke “Gone on Debating:” Competitive Academic Debate as a Tool of Empowerment for Urban America.

Yang, Chien-Hui, PhD and Enniati Rusli, M.Ed, 2012. Using Debate as a Pedagogical Tool in Enhancing Pre-Service Teachers’ Learning and Critical Thinking. Journal of International Education Rsearch, Volume 8, Number 2, pg. 135 – 144

Munajat

Kantukku terbawa teguk kopi tadi malam. Tidak penat rasa mata bahkan selepas 6 paragraf tugas yang aku salin di laptop tua kami. Gundah apa yang membawa puisi sukma ini, menerawang wajah mu mama dan belahan jiwa
Sekonyong konyong lelah raga tertumpah dalam bulir air mata. Konflik yang cukup lama tak mampu terseka peluh raga ini.
Entahlah, aku rindu masa di mana muram durja bukan teman hari dan malam bathin ini. Sesak sesekali mengupat, mengkhianat nikmatNya.
Allah Tuhan yang Maha kuasa, sandarkan hamba di ketentuan sejatiMu.
Ridhoi pinta hamba Tuhanku yang Maha Agung lagi pengabul doa

29 Agustus 2013