Jumat, 24 Juli 2009

Politisasi Agama vs Politik Dominan

epat menjelang zuhur kemaren siang, saya menghadap seorang Pimpinan institusi keagamaan di salah satu kabupaten di Aceh. Beliau memanggil saya atas nama keluhan masyarakat. Katanya, acara yang kami gelar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional dengan tema Ayo Sekolah mengandung unsur acara yang tidak dibenarkan oleh agama, haram katanya! Beliau sempat bilang, kalau seandainya acara diteruskan dan masyarakat memprotes dengan aksi anarkis, beliau dan jajaran institusinya tidak akan bertanggung jawab!
Ditemani seorang kacung kepolisian setempat saya menghadap pimpinan institusi tersebut, untuk meluruskan masalah dan 'memohon' rekomendasi beliau agar acara dapat terus berlangsung. Singkat cerita setelah argumentasi yang panjang, akhirnya sang pimpinan organisasi yang disebut ulama tersebut hanya bilang "pokoknya kalau acaranya mengandung unsur band, itu haram dan tidak boleh dipertunjukkan di kabupaten ini!" Si kacung polisi tadi pun ikut-ikutan memback up sang 'ulama' dengan mengatakan kalau dia harus taat perintah atasan untuk membackup perkataan sang 'ulama'! Kalau tidak dia akan di sel selama 21 hari! Melihat kebuntuan diskusi, aku pun izin pulang dengan alasan akan membicarakan dengan pihak panitia acara yang lembaga kami sewa sebagai penyelenggara kegiatan. Di lapangan aku menemui teman-teman yang asli orang kabupaten setempat, serta merta mereka tertawa dan bilang waktu kampanye politik partai kemarin, banyak penyanyi dangdut yang diundang untuk menyemarakkan kampanye politik di daerah tersebut! Dalam hatiku, ini pasti ada sesuatu di belakang argumentasi haram utk pertunjukan band acara kami yang dipakai sang 'ulama'. Setelah berkomunikasi dengan panitia, akhirnya kami menempuh jalur lobi politik dan power birokrat. Mencoba menghubungi jajaran Bupati sebagai penguasa politik setempat untuk melobi sang 'ulama' akhirnya institusi kelembagaan Islam yang memang di bawah koordinasi Bupati (struktural yang berbeda dengan institusi sang 'ulama' yang fungsional / non pemerintah) meluruskan kepada sang 'ulama' bahwa tidak unsur maksiat di acara kami dan bahwa audiens dan pesan-pesan dalam musiknya melulu tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anak!
Singkat cerita, acara bisa dilanjutkan bahkan band yang memang dijadwalkan untuk menampil membawakan lagu "ilir-ilir Kyiai kanjeng" dan "Laskar Pelangi NIDJI" boleh tampil!
Usut punya usut, ternyata sang 'ulama' kecewa karena band tradisional binaan mereka tidak kami pakai sebagai pengisi acara, sebaliknya kami mendatangkan komunitas seniman dari ibukota provinsi. Astaghfirullah...ujarku... Bagaimana bisa power menggunakan 'fatwa haram' dijadikan motif untuk mendominasi sebuah keputusan!? Politisasi agama! berang hatiku! Tidak ada satu pertunjukan dangdut pun ketika acara kampanye politik yang bisa mereka sanggah! Karena mereka kalah power dengan penguasa politik dominan!
Semoga semakin baiklah kerja institusi agama non struktural yang dipimpin oleh sang 'ulama' tersebut! Ratusan ribu umat Islam yang berdomisili di kabupaten tersebut menjadi tanggung jawab mereka. Bukannya berlapang dada dan bergiat menggemakan acara-acara kajian keagamaan yang dilangsungkan, malah mencoba menggantikan posisi Tuhan dengan menghalal haramkan sesuatu untuk kepentingan sendiri...
Semoga kita terhindar dari yang demikian...Amin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar