Momentum pemilihan presiden kali ini benar benar menguras tenaga dan
emosi. Saya dan banyak orang Indonesia lainnya hanyut di hiruk pikuk
demokrasi bagaikan dua kubu yang berseteru dalam pertarungan benar dan
salah. Saya dengan segala yang saya percaya mengusahakan semua yang saya
punya untuk berbagi lewat media sosial sebagai pembuktian keIndonesiaan
saya. Saya merasa wajib memberikan klarifikasi pada semua hal yang saya
anggap sebagai pembelokan informasi yang benar tanpa merasa sedikitpun
khawatir menjadi “musuh” teman yang selama ini ada di masa jauh sebelum
pilpres. Meskipun saya tidak merasa sama sekali menyesal menjadi bagian
dari perseteruan yang saya dasarkan pada fakta yang saya kumpulkan rimah
demi rimah, tapi sungguh saya juga khawatir menjadi bagian yang
mewarnai lebih dalam koyaknya tenun kebangsaan ibu pertiwi ini.
Perlahan lahan saya scroll down ke
laman teman-teman yang ada di facebook. Saya menemukan ScottyHeidy
Wisely mengunggah foto-foto tentang berfungsinya mesin pembangkit
listrik tenaga airnya yang dia upayakan dengan donasi teman dan keluarga
untuk menerangi sekolah Op Anggen di Bokondini di Papua. Dia dalam
revolusi sunyinya konsisten selama lebih dari 15 tahun belakangan
menetap dengan keluarganya di daerah tanpa fasilitas listrik dan jalan,
untuk bantu orang Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Guru-guru yang
dia rekrut bukan tamatan sekolah-sekolah tinggi yang mahal dengan gaji
setara pegawai negeri sipil, namun dedikasinya menjadikan sekolah
tersebut bagaikan pelita dalam gelap dan harapan akan manusia yang lebih
bermanfaat untuk sekitar.
Lain lagi cerita
Martijn van Driel. Seorang berkewarganegaraan Belanda yang hidup di
Wamena dengan istri dan kedua putrinya menghabiskan 6 tahun terakhir
jauh dari kehidupan majunya di Belanda, demi membantu guru-guru di Papua
yang seringkali hanya dianggap sebagai angka pemenuhan indikator
pendidikan. Martijn malah harus merelakan kedua putrinya belajar secara
mandiri dari rumah lewat media home schooling karena ketiadaan
buku-buku pelajaran yang sama dengan kurikulum Belanda. Saya
Alhamdulillah diberikan kesempatan untuk bersama beliau membantu melatih
sekian banyak guru di Papua untuk memiliki acuan mengajar yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat tempatan.
Nama Naomi Sosa juga salah
satu yang menginspirasi saya ketika bekerja di Papua. Perempuan
berkebangsaan Irlandia ini tinggal bersama keluarganya di Wamena guna
membantu masyarakat lokal mampu berorganisasi dengan benar dan
menyampaikan layanan pembangunan ke kantong-kantong tersulit yang sering
kali hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang berpenumpang 3 – 4
orang. Pernah suatu ketika, ibu saya menangis mengetahui bahwa pesawat
saya tidak kembali ke kota setelah terjebak di Holuwon (sebuah desa di
kabupaten Yahukimo) dan tidak ada komunikasi ke luar kampung. Saya
ketika itu bertugas membantu memastikan bahwa kurikulum lokal yang kami
kembangkan bersama sama dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak terbayang
sudah berapa puluh penerbangan yang Naomi lakukan untuk perjalanan
seperti itu. Dan sudah berapa kali ibu dan keluarganya barangkali harus
khawatir ketika dia dengan teman-teman Papua menyalurkan layanan
kemanusiaan ke daerah-daerah sulit tersebut bertaruh nyawa dan harta.
Waktu
saya jalan-jalan ke Merauke dengan keluarga saya, saya menyempatkan ke
perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea. Sebuah perbatasan hanya
berbatas tugu. Tugu itu kemudian dikembangkan menjadi taman dan kebun
nenas lewat tangan dingin dan gaji pribadi Pak Aiptu Makruf yang
bertugas sebagai perwira polisi di kecamatan Sota. Bakti tulus pak Aiptu
Makruf ini kemudian mendatangkan simpati negara dan dunia yang jauh
dari hingar bingar jabatan. Pak Aiptu Makruf bahkan menolak untuk
dimutasi ke kota Merauke ataupun daerah lainnya, padahal kecamatan Sota
tidak punya Sekolah Menegah Atas untuk anak sulungnya yang kemudian
terpaksa bersekolah di kota Merauke.
Di
tingkat nasional, nama nama besar seperti Tri Mumpuni dan Ibekanya,
Anies Baswedan dan Indonesia Mengajar, Sandiaga Uno dan Indonesia
Setara, atau Romo Mangunwijaya dan masyarakat kali code, adalah nama
nama pahlawan “kekinian” yang anak muda masa saya harus kenal dan tiru
lebih jauh. Mereka hadir dari “arus bawah” dengan karya dan lintas
kepentingan.
Lalu saya bertanya pada diri
sendiri, apa pula karya yang bisa saya sembahkan untuk ibu pertiwi?
Kenapa pula saya harus lanjutkan rasa memusuhi pada kelompok yang saya
anggap tergerus arus politik bebas etika? Jawaban saya satu, untuk terus
mewarnai kembangnya politik di Indonesia yang bermartabat. Jauh dari
intrik dan konflik kepentingan dan atas dasar keinginan membangun
Indonesia yang lebih sejahtera, lahir dan bathin. Agar kelak anak dan
ponakan saya bisa hidup lebih baik dari yang saya punya. Hidup
berdampingan dengan segala suku bangsa dan agama, tanpa rasa lebih
tinggi satu sama lainnya. Hidup yang dipenuhi dengan pertarungan kerja
keras dan kesadaran akan pentingnya menjadi mandiri, namun santun dalam
laku dan pribadi. Mengamalkan ajaran agama yang hakiki dan meneduhkan
sesamanya. Amin…
NB: Tulisan ini sekaligus saya sajikan
sebagai permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada kawan-kawan yang kali
ini berseberangan pilihan presiden. Semoga teman-teman maafkan saya
lahir bathin. Kritik yang saya ajukan sejatinya adalah untuk pihak-pihak
yang mengadu domba kita demi kuasa dan kepentingan politiknya, bukan ke
pribadi-pribadi kawan-kawan sesama kelompok non partai. Semoga
berterima.