Terinspirasi dari beberapa kejadian yang aku alami dengan namaku
membuatku ingin menuliskan bagaimana hal ini menjadi norma sosial yang
diterima luas oleh masyarakat kita sekarang di Indonesia tercinta. Satu
fenomena yang secara tak sadar aku pun termasuk di dalamnya. Celetukan
semisal; waduh..jangan cerita bisnis la..ada ustadz di sini, tak enak
kita. Atau, sama tengku itu la... Awak tak ustadz, segan awak dia sholat
awak tidak... Atau misalnya ketika aku berkenalan dengan orang
Indonesia yang familiar dengan istilah Santri dan Pesantren selalu
bilang; "Oh..namanya Santri. Koq bisa kerja di NGO?" Atau misalnya,
waduh jangan bawa si Santri la..Ustadz masak diajak nongkrong..Bla bla
bla...
Alhamdulilah aku terlahir dengan nama Pria Santri
Beringin, sebuah pemberian nama yang unik yang sangat cerdas dari
almarhum papa. Secara historis, nama itu terinspirasi dari peletakan
batu pertama pembangunan pesantren yang dikelola pamanku dan papa.
Kebetulan aku lahir satu hari setelah peletakan batu pertamanya. Nama
Pria karena aku anak laki laki papa, dan Beringin adalah gelar
kehormatan yang diberikan masyarakat Sei Beringin di Pematang Siantar
untuk kakekku yang mengembangkan agama Islam di sana. Nah, untuk memohon
keberkahan kakek turun ke aku, maka aku pun diwarisi gelar Beringin
tadi.
Inti diskusi yang ingin kuangkat di sini adalah bagaimana
hebatnya segregasi nilai-nilai serta patron kehidupan beragama dari
kehidupan 'sekuler'. Bagaimana hebatnya dakwah anti Islam hidup di
setiap nafas kita sehingga kita menjadi pelakunya secara tak sadar
maupun sadar. Bagaimana bisa Islam yang mengatur kehidupan manusia
secara kaffah disimbolkan sebatas ceramah agama, sholat, puasa, zakat
dan ibadah ibadah mahdhoh lainnya.
Terus terang, saya pun tak
mengaplikasikan setiap nilai nilai Islam di kehidupan saya. Namun
mendengar bagaimana generasi saya mengeluk elukkan guyonan seputar
segregasi Islam dan kehidupan 'sekuler' benar benar membuat saya geram.
Seolah olah Islam hanya mengatur hal hal yang berkaitan dengan puasa,
sholat, zakat, dan lain lain yang secara materil terlihat. Apa iya Islam
itu yang hanya melulu melantunkan sholawat dalam pakaian putih dengan
sorban rapih serta harum? Apakah dakwah Islam hanya menjadi tanggung
jawab ustadz ustadz dan da'i yang gaya pidatonya harus mirip Zainuddin
MZ? Apakah pidato agama melulu membahas isu isu seputar ibadah mahdhod
dan ketika bicara internet bukan masuk ranah agama dan/atau Islam? I
feel so embarrassed by that!
Sebagaimana yang dikutip dari kamus
besar bahasa Indonesia, agama berasal dari dua kata 'a' dan 'gama'.
Artinya 'a' tidak, 'gama' = goyah, jadi 'a'+'gama' = tidak goyah.
artinya agama adalah hal yang mengatur tentang menetapkan keyakinan dan
itu dipakai di setiap sendi kehidupan kita. Jadi tidak ada lagi yang
namanya ketaatan beragama dilihat dari disiplinnya sholat seseorang
semata, tapi lebih dari itu bagaimana Islam memang dipakai di setiap hal
yang mengatur kehidupan kita; termasuk misalnya memelihara binatang
ternak, menawarkan jasa, mendiskusikan sesuatu, berpakaian, dan lain
lain yang semuanya kita lakukan setiap saat. Dengan demikian tidak ada
lagi ruang di mana kehidupan kita bisa terlepas dari agama! Sekali lagi,
agama adalah tentang keyakinan yang diaplikasikan di setiap sendi
kehidupan manusia, tidak bisa disegregasi, tidak perlu disegregasi,
tidak perlu diatur terpisah! Tidak ada lagi pemikiran bahwa kalau kita
sudah sholat bahwa kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar,
belum tentu! Pembahasan tentang kewajiban sholat dan lain lain sudah
jelas nashnya (undebatable), yang menjadi isu adalah bagaimana asosiasi
kita tentang beragama!
Islam hanya sebuah nama, lebih dari itu
Islam sendiri adalah kita (alam) dan kehidupan kita yang diajarkan oleh
Baginda Muhammad Sallalahu 'Alaihi Wasallam lewat wahyu Allah yang
disampaikan melalui Jibril. Ini tentang mengabdi, ini tentang patuh...
Think
out of box. Think Islam out of our self preferences. There is no such
Islam in one box! One minute you consider you as moslem, the other time
you think that you are just human being! There is no such opportunity I
would say. It is holistic, it is kaffah. And of course, it is between
you and your God and other human being..
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar