Di tengah kebencian saya yang luar biasa tinggi terhadap kepolisian
republik ini karena kasus sendal jepit Aal di Palu, penyerbuan Mesuji,
kriminalisasi bocah 12 tahun bernama Fahmi di Medan, pembunuhan
bersaudara di penjara Pessel Sumbar, momentum tahun baru lalu setidaknya
mengembalikan akal sehat saya untuk memilah-milah persoalan dan
perasaan. Bahwa kurang bijak membenci polisi dan institusinya, toh masih
ada segelintir kecil dari personnel kepolisian yang menyejukkan hati
jasanya.
Waktu itu saya dan keluarga sengaja berkunjung ke
Merauke untuk merasakan pembukaan tahun 2012 dari ujung paling timur
Indonesia. Sekadar melihat-lihat, mumpung sedang di Papua.
Perjalanan
Jayapura-Merauke paling efisien ditempuh dengan pesawat terbang, kurang
lebih 1 jam dari Bandar Udara Sentani, Jayapura. Setibanya di Merauke,
dengan menumpang taksi rental dari Bandara kami menginap di salah satu
hotel Melati di merauke. Bincang-bincang dengan beberapa referensi di
Jayapura dan rekomendasi sang supir taksi rental, cuma ada satu tujuan
wisata paling populer di Merauke ini; Distrik Sota! yang menjadi
perbatasan antara Republik Indonesia dengan Papua New Guinea.
Tanggal
31 Desember 2011 tersebut, kami akhirnya berkunjung ke Sota. Sebuah
kecamatan yang jaraknya kurang lebih 80 km sebelah timur kota Merauke,
Sota dapat ditempuh dengan mobil selama kurang lebih 1 sampai dengan 2
jam (tergantung cuaca dan gaya mengemudi). Sepanjang perjalanan menuju
Sota, kita disuguhi oleh hutan mangrove yang cantik sekali, yang konon
katanya dulu menjadi tempat lalu lalangnya Rusa yang menjadi icon kabupaten Merauke.
Cerita tentang indahnya Taman Nasional Wasur dengan rumah semut (musamus)
setinggi 8 meter serta rusa dan kanggurunya bagi saya kalah menyentuh
dengan cerita tentang Aiptu Ma'ruf. Seorang perwira polisi dengan
jabatan wakapolsek di distrik Sota yang membuka hati dan akal sehat saya
tentang seorang personnel polisi.
Dulu saya sempat
baca-baca artikel tentang Nasionalisme Ma'ruf yang diterbitkan kompas
atau diberitakan kaskus. Waktu itu bathin saya berkata, "ah,
kadang-kadang wartawan lebay aja memberitakan sesuatu.."
Fikiran itu sama sekali pupus! Melihat Aiptu Ma'ruf yang jauh dari citra
polisi yang tukang minta duit, semena-mena dan arogan. Aiptu Ma'ruf
mengarahkan mobil kami yang parkir di halaman taman perbatasan Sota!
Dengan senyum dan tanpa kesan dibuat-buat!
Turun dari mobil saya masih sedikit sinis dengan laki-laki berseragam itu. "Mesti ada maunya," bathin saya mencurigai.
Apalagi
di mana-mana saya melihat papan tulisan "Taman ini dirawat oleh Aiptu
Ma'ruf" Ha! jelas sudah, manusia haus publikasi! pikir saya masih sinis.
Beberapa
menit setelah saya ambil beberapa foto tentang taman tersebut Aiptu
Ma'ruf mulai terlihat mengambil sapu dan memungut sampah sisa pengunjung
sebelum kami tiba. Iba saya mulai muncul. "Bantu-bantu pungut sampah
apa salahnya." fikir saya.
"Dari mana pak..?" tanya Aiptu
Ma'ruf. "Dari Jayapura pak.." jawab saya mencoba sopan. Tanpa banyak
basa-basi saya langsung bertanya-tanya kenapa beliau ada di sini. Pak
Ma'ruf menjawab "karena saya senang ada di sini".
Akal sehat saya
berusaha mencerna apa maksud kata 'senang' tersebut. Apa enaknya tinggal
di tempat yang jauh dari mana-mana, bahkan listrik pun belum ada,
sementara beliau belakangan saya tau sudah beberapa kali dipromosikan
untuk pindah tugas ke tempat lain!
"Anak istri Bapak di
sini juga?" tanya saya lagi. "Siap! Sejak kami menikah. Tapi anak saya
yang nomer satu di Merauke, karena tidak ada SMA din sini."
"O..." bathinku melongo. "Koq bisa pak? Kenapa?" tanyaku kayak setengah tak percaya.
"Hidup
ini kalau dinikmati indah sekali pak..!" demikian celetuk pak Ma'ruf.
"Saya di sini dari tahun 1993. Waktu itu saya yang biasa berkebun di
'kampung' saya di Nabire koq ngerasa gak enak cuma duduk-duduk aja di
kantor" lanjut pak Ma'ruf berkisah. "Lalu saya main-main ke tugu ini.
Waktu itu ilalangnya dua kali tinggi kita berdiri, belum ada taman
bunga. Apalagi saung-saung ini" tutur pak Ma'ruf.
"Jadi Bapak yang membersihkan dan membuat taman ini?" tanya saya terheran. "Siap!" jawab perwira polisi tersebut.
Percakapan kami pun menjadi lebih akrab. Sekat kebencian saya akan seorang personnel polisi perlahan-lahan pupus. Ma'ruf bagai positive defiance di kumpulan keprihatinan kesehatan kinerja kepolisian (mencontek istilah pendekatan kesehatan).
Usut
punya usut, ternyata tulisan-tulisan yang terpampang di mana-mana itu
adalah pemberian dari Presiden RI. Sebagai penghargaan untuk kerja keras
beliau. Bayangan tugu Sota yang berisi semak belukar dan jauh dari
kesan indah itu menjadi sulit dibayangkan ketika kami berkunjung ke
sana!
"Tiap pagi, habis apel di kantor saya mohon izin ke
sini. Saya membabat rumput, menyiram tanaman, atau sekadar memungut
sampah yang berserakan" lanjut beliau menambah kekaguman saya.
"Sesekali anak istri saya ikut membantu." sambungnya lagi
"Tidak ada operasional dari kantor pak?" sidik saya sedikit penasaran.
"Ah,
tidak perlu pak. karena tugas penjagaan wilayah perbatasan sebenarnya
diserahkan kepada TNI. Tapi cor lantai ini dari anggara APBN." jabaw pak
Ma'ruf.
"saung-saung ini, bunga-bunga, tempat sampah dan musholla ini? Bapak yang buat?"
"Siap!" jawab perwira itu lagi.
Sakin
cintanya pak Ma'ruf dengan perbatasan Sota ini, beliau bahkan sudah
menciptakan beberapa lagu. Yang terbaru malah sempat saya rekam di
perangkat telpon seluler saya.
Tugu.. perbatasan Sota...
yang terkenal di .. mana-mana...
Siapa yang datang ke sana
pasti akan terpesona ...
Suku kanunnya menjaga adatnya..
taman wasurnya.. perlu kita yang jaga...
negara tetangga jalin hubungannya...
mari bersama... kita berkarya...
demi kemajuan bangsaaaa...
mari bersama... kita menjaga...
demi... keutuhan bangsaaa...
Demikian petikan lagu ciptaan pak Ma'ruf.
Kental
semangat nasionalisme tanpa mengabaikan hak-hak suku asli! Suku kanun
yang menjadi penghuni asli taman nasional Wasur sengaja disebutkan
beliau katanya agar orang-orang juga tau bahwa mereka adalah penjaga
utama pintu perbatasan ini dan pembeir citra Indonesia dengan negara
tetangga.
Ah.. Pak Ma'ruf..! Saya jadi malu, bathin saya..
Di sepanjang perjalanan pulang, saya sempat melihat kebun-kebu nenas
yang beliau tanam dengan suku Kanun tersebut! Jadi tambah malu saya.. Ke
sana sini membawa image pemberi perubahan untuk masyarakat, belum satu
kebun masyarakat pun yang sempat saya tanam dengan mereka...
Kharisma pak Ma'ruf seperti lembayung... Samar di ufuk senja.. namun begitu indah...!
"Salut
Pak Ma'ruf! Semoga Allah yang Maha Kaya senantiasa mencukupkan Bapak
dan keluarga serta melimpahkan kehidupan yang hebat untuk
keturunan-keturunan Bapak... Amin..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar