epat menjelang zuhur kemaren siang, saya menghadap seorang Pimpinan
institusi keagamaan di salah satu kabupaten di Aceh. Beliau memanggil
saya atas nama keluhan masyarakat. Katanya, acara yang kami gelar dalam
rangka memperingati Hari Anak Nasional dengan tema Ayo Sekolah
mengandung unsur acara yang tidak dibenarkan oleh agama, haram katanya!
Beliau sempat bilang, kalau seandainya acara diteruskan dan masyarakat
memprotes dengan aksi anarkis, beliau dan jajaran institusinya tidak
akan bertanggung jawab!
Ditemani seorang kacung kepolisian setempat
saya menghadap pimpinan institusi tersebut, untuk meluruskan masalah dan
'memohon' rekomendasi beliau agar acara dapat terus berlangsung.
Singkat cerita setelah argumentasi yang panjang, akhirnya sang pimpinan
organisasi yang disebut ulama tersebut hanya bilang "pokoknya kalau
acaranya mengandung unsur band, itu haram dan tidak boleh dipertunjukkan
di kabupaten ini!" Si kacung polisi tadi pun ikut-ikutan memback up
sang 'ulama' dengan mengatakan kalau dia harus taat perintah atasan
untuk membackup perkataan sang 'ulama'! Kalau tidak dia akan di sel
selama 21 hari! Melihat kebuntuan diskusi, aku pun izin pulang dengan
alasan akan membicarakan dengan pihak panitia acara yang lembaga kami
sewa sebagai penyelenggara kegiatan. Di lapangan aku menemui teman-teman
yang asli orang kabupaten setempat, serta merta mereka tertawa dan
bilang waktu kampanye politik partai kemarin, banyak penyanyi dangdut
yang diundang untuk menyemarakkan kampanye politik di daerah tersebut!
Dalam hatiku, ini pasti ada sesuatu di belakang argumentasi haram utk
pertunjukan band acara kami yang dipakai sang 'ulama'. Setelah
berkomunikasi dengan panitia, akhirnya kami menempuh jalur lobi politik
dan power birokrat. Mencoba menghubungi jajaran Bupati sebagai penguasa
politik setempat untuk melobi sang 'ulama' akhirnya institusi
kelembagaan Islam yang memang di bawah koordinasi Bupati (struktural
yang berbeda dengan institusi sang 'ulama' yang fungsional / non
pemerintah) meluruskan kepada sang 'ulama' bahwa tidak unsur maksiat di
acara kami dan bahwa audiens dan pesan-pesan dalam musiknya melulu
tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anak!
Singkat cerita, acara
bisa dilanjutkan bahkan band yang memang dijadwalkan untuk menampil
membawakan lagu "ilir-ilir Kyiai kanjeng" dan "Laskar Pelangi NIDJI"
boleh tampil!
Usut punya usut, ternyata sang 'ulama' kecewa karena
band tradisional binaan mereka tidak kami pakai sebagai pengisi acara,
sebaliknya kami mendatangkan komunitas seniman dari ibukota provinsi.
Astaghfirullah...ujarku... Bagaimana bisa power menggunakan 'fatwa
haram' dijadikan motif untuk mendominasi sebuah keputusan!? Politisasi
agama! berang hatiku! Tidak ada satu pertunjukan dangdut pun ketika
acara kampanye politik yang bisa mereka sanggah! Karena mereka kalah
power dengan penguasa politik dominan!
Semoga semakin baiklah kerja
institusi agama non struktural yang dipimpin oleh sang 'ulama' tersebut!
Ratusan ribu umat Islam yang berdomisili di kabupaten tersebut menjadi
tanggung jawab mereka. Bukannya berlapang dada dan bergiat menggemakan
acara-acara kajian keagamaan yang dilangsungkan, malah mencoba
menggantikan posisi Tuhan dengan menghalal haramkan sesuatu untuk
kepentingan sendiri...
Semoga kita terhindar dari yang demikian...Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar